28 Desember 2009

Eksotisme Wakatobi dan Tanda Tanya Kebudayaan



Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul sebelas siang. Bersama dua jurnalis lain, saya terbang menuju Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dibutuhkan waktu selama tiga jam penerbangan dengan pesawat Sriwijaya Air untuk tiba di Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara, setelah sebelumnya transit di Bandara Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Karena penerbangan ke Wakatobi hanya ada pada pagi hari, kami terpaksa menginap di Kendari. Dan besoknya kami sampai di Bandara Matahora, Wakatobi, setelah melalui penerbangan selama 30 menit dengan pesawat Susi Air.

Wakatobi adalah kabupaten di Sulawesi Tenggara dengan Wangi-Wangi sebagai ibukotanya. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 ini memiliki lima kecamatan, yakni Binongko, Kaledupa, Tomia, Wangi-Wangi, dan Wangi-Wangi Selatan.

Semula, Kabupaten Wakatobi merupakan taman laut nasional yang memiliki potensi keindahan alam, baik darat maupun laut. Kepulauan yang terletak di Perairan Laut Banda ini memiliki jajaran karang laut terindah di segitiga karang dunia. Tak hanya itu, jajaran karangnya, yang ada di Kaledupa, merupakan satu-satunya yang terpanjang di dunia. Kaledupa adalah salah satu gugusan pulau karang di Wakatobi dengan panjang atol mencapai 48 kilometer.

Selain itu, perairan Wakatobi juga memiliki spesies binatang laut unik terbanyak di dunia. Jika dibandingkan dengan Kepulauan Karibia di benua Amerika, Wakatobi masih lebih unggul. Di Karibia, jumlah spesies binatang laut unik adalah 200, sedangkan di Wakatobi mencapai 750 spesies. Salah satu spesies unik di Wakatobi adalah kuda laut yang tingginya hanya 2,5 sentimeter.

Keindahan alam dan potensi laut Wakatobi yang luar biasa ini membuat Pemerintah Kabupaten Wakatobi gencar melakukan promosi pariwisata. Tidak main - main, untuk menunjang perkembangan pariwisata, Pemerintah Wakatobi membangun Bandara Matohara dengan panjang landasan 1200 meter dan lebar 40 meter.

Kedatangan saya ke Wakatobi adalah dalam rangka Festival Sail Indonesia 2009 yang digelar pada Agustus 2009. Festival yang diadakan di Wangi - Wangi ini merupakan salah satu promosi pariwisata yang rutin diadakan oleh pemerintah daerah Wakatobi tiap tahunnya. Dalam Sail Indonesia 2009 ditampilkan berbagai budaya asli Wakatobi, antara lain Bangka Mbule-Mbule, Kabuenga, dan Karia’a.



Bangka Mbule-Mbule adalah upacara melarung hasil bumi ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mandati. Berbagai hasil bumi itu diantaranya padi, jagung, dan pisang. Sebelum dilarung ke laut, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, hasil bumi diletakkan dalam perahu kayu yang dihiasi dengan sepasang orang-orangan sebagai simbol kejahatan. Kedua, perahu yang sudah berisi hasil bumi ini kemudian diarak keliling kampung guna mengusir mara bahaya yang akan mengganggu desa. Nah, perahu yang membawa hasil bumi yang akan dilarung ini disebut Mbule-Mbule.

Tujuan dari acara Bangka Mbule-Mbule adalah untuk mengucapkan syukur sekaligus menghindari bencana, seperti bencana alam, mewabahnya penyakit, atau persoalan sosial yang dapat mengakibatkan gangguan di masyarakat.

Pada bagian lain, ditunjukkan pula bagaimana cara Suku Liwo, salah satu penduduk asli Wakatobi, mencari jodoh untuk anak perempuannya. Caranya adalah dengan melelang makanan. Dan laki-laki yang memberikan penawaran tertinggi akan menjadi jodoh anak perempuan dari Suku Liwo.

Lalu, bagaimana caranya melamar dengan gaya lelang makanan? Caranya tak lain dengan menyusun makanan berupa lauk pauk dan kue secara bertingkat dan dihias untuk memikat hati laki-laki. Makanan tersebut kemudian diletakan di ruang depan rumah. Jika ada laki-laki yang berminat, maka ia akan melakukan tawar menawar dengan keluarga pihak perempuan. Dan laki-laki dengan tawaran harga paling tinggilah yang berhak mempersunting. Setelah kesepakatan terjadi, laki-laki dan perempuan yang telah berjodoh akan diayun di sebuah ayunan yang terbuat dari pohon pinang, bambu, dan rotan. Ayunan ini disebut dengan Kabuenga.

Acara Kabuenga ini biasanya dilakukan setelah perayaan Idul Fitri. Sebab, biasanya pada saat itu laki-laki Suku Liwo yang merantau akan kembali pulang ke kampung halaman.

Sementara itu, upacara adat Karia’a adalah sama dengan perayaan sunatan. Upacara ini biasanya dilakukan oleh Suku Buton, dimana anak-anak mereka umumnya sudah disunat sejak usia lima tahun.

Upacara adat Karia’a, yang biasanya dilakukan di sebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara nyanyian dari sekelompok ibu-ibu. Seluruh peserta perayaan Karia’a akan mendapatkan bagian dari syara, yaitu pemimpin upacara Karia’a. Kemudian, semua peserta upacara akan menuju batanga, yaitu tempat perayaan dari rumah mereka masing-masing. Peserta menuju batanga dengan menggunakan kansoda’a, yaitu usungan yang terbuat dari bambu besi, atau oleh masyarakat setempat disebut o’o.

Perayaan Karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampung sambil membawa usungan. Uniknya, dalam perayaan Karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat, melainkan anak-anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah Buton Wakatobi dan hiasan bunga di kepala. Setiap usungan bisa berisi tiga hingga lima anak perempuan dan diusung oleh empat hingga sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan Karia’a boleh juga diikuti oleh laki-laki dewasa yang sudah disunat namun belum pernah mengikuti perayaan Karia’a sebelumnya.

Upacara adat Karia’a merupakan salah satu tradisi Suku Buton Wakatobi yang sudah dilakukan sejak 1918. Begitu juga dengan upacara adat Bangka Mbule - Mbule dan Kabuenga yang usianya sudah ratusan tahun. Mempertahankan tradisi leluhur memang terus dilakukan oleh masyarakat Wakatobi.

Namun demikian, saya mencoba mencari tahu, apakah masyarakat memahami makna dari dari upacara-upacara adat yang ditampilan dalam Festival Sail Indonesia 2009. Dan saya mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Dari beberapa orang yang saya tanya tentang beberapa kegiatan, jawabannya selalu berbeda-beda. Misalnya, dalam upacara adat Karia’a, tidak ada yang dapat memastikan mengapa yang diusung adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki yang disunat.

Seketika saya merasa bahwa upaya mempertahankan tradisi nenek moyang hanya sekedar menjadi kebiasaan. Berbagai simbolisasi dalam adat tidak diiringi dengan pemahaman. Ia tampak hanya sekedar sebuah ritual demi meramaikan festival kebudayaannya belaka. Padahal, mempertahankan budaya yang hakiki berarti memahami makna sesungguhnya yang terkandung dalam berbagai simbol budaya tersebut.

Baca juga di : http://wisataloka.com/kultur/eksotisme-wakatobi-dan-tanda-tanya-kebudayaan/

Adat dan Demokrasi di Desa Walait, Papua



Walait adalah sebuah desa yang terletak di dataran tinggi Lembah Baliem di Wamena, Papua. Penduduknya sangat dekat dengan alam dan percaya bahwa alam, sebagai sumber penghidupan, akan memperlakukan mereka dengan baik jika mereka setia menjaga semesta. Kendati sebagian orang menganggap penduduk di Desa Walait sebagai kelompok masyarakat yang masih primitif, namun Kaum Walait ternyata amat akrab dengan suasana demokrasi: mereka mengenal musyawarah mufakat dan prinsip-prinsip keadilan dalam mengkonsumsi sumber daya alam yang ada disekitar mereka.

Deru mesin pesawat sesekali terdengar memecah keheningan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Saat itu menjelang tengah malam dan saya tengah bersiap menunggu pesawat yang akan menghantar saya menuju Jayapura, Papua. Meskipun ini bukan perjalanan yang pertama buat saya, namun terasa ada semangat yang lebih karena kali ini saya berkesempatan mengunjungi Wamena, kota impian yang selama ini hanya saya kenal lewat buku dan foto.

Dari buku yang saya baca dan foto yang saya lihat, Wamena terkenal sebagai Kota yang eksotis. Keindahan alam dipadu dengan tradisionalitas penduduk asli menjadi kombinasi yang sangat kontras. Sebenarnya saya sudah tiga kali mengunjungi Papua dalam rangka melaksanakan tugas jurnalistik saya, namun selalu saja saya tidak berkesempatan mengunjungi Wamena. Sekarang saya kembali ke Papua, dan tujuan utama saya adalah: Wamena.

Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB saat pesawat yang saya tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Lamanya perjalanan memakan waktu hingga 10 jam, termasuk transit dua kali di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Biak. Hari telah pagi ketika saya menginjakkan kaki di Bandara Sentani, Jayapura. Begitu banyak supir taksi telah menunggu turunnya para penumpang dari pesawat dan harga yang mereka tawarkan atas jasa taksi mereka sungguh mahal.

Saya meluangkan waktu satu minggu untuk tinggal di Jayapura seraya mempelajari kehidupan suku asli masyarakatnya yang tinggal di tengah laut. Barulah pada hari kedelapan, saya berangkat menuju Wamena.

Perjalanan dari Jayapura menuju Wamena ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang. Tiketnya terbilang murah untuk standard ekonomi di Papua, yaitu Rp 500.000 per orang dengan pesawat Trigana p.p. Jayapura-Wamena. Dalam sehari, pesawat tersebut melakukan lima kali penerbangan p.p. Jayapura-Wamena. Saya mengatakan bahwa harga tiket pesawat tersebut terhitung murah karena di Papua ini hampir semua harga kebutuhan pokok dan barang-barang terhitung berkali-kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa.

Sebaiknya memilih waktu penerbangan saat cuaca cerah karena Kota Wamena berada di dataran tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan. Pagi hari adalah waktu yang paling tepat untuk terbang kesana.

Tepat pukul 05.00 WITA, saya sudah bersiap di Bandara Sentani karena sesuai manifest tiket, penerbangan menuju Wamena akan dilakukan tepat pukul 06.00 WITA. Saat akan check-in, serta merta kabar yang tidak diharapkan terdengar ketika petugas bandara mengumumkan bahwa hari itu tidak ada penerbangan ke Wamena karena bertepatan dengan peringatan Tahun Baru. Sontak saya terkejut dan marah karena tanggal penerbangan dalam manifest tiket yang saya pegang adalah tanggal 1 Januari, pukul 06.00 WITA. “Bagaimana mereka bisa seenak-enaknya membatalkan penerbangan”, keluh saya dalam hati. Karena protes tak berjawab, saya pun ikhlas menunda penerbangan hingga keesokan harinya.

Pagi hari berikutnya, saya kembali bersiap di Bandara Sentani. “Untunglah kali ini tidak ada pengumuman mendadak tentang pembatalan penerbangan,” pikir saya dalam hati.

Saat telah mendekati Tanah Wamena, pesawat yang saya tumpangi melakukan manufer terbang berputar-putar beberapa kali agar dapat menurunkan ketinggian di tengah medan yang berbukit-bukit. Perut saya serasa diaduk-aduk. Syukurlah pesawat mendarat dengan selamat. Bandara Wamena memang sangat sederhana. Tidak tampak pagar pembatas di sekeliling landasan pacu. “Inilah Wamena,” saya berseru gembira dan berjalan turun dari pesawat.

Dari Bandara Wamena, saya tidak memesan kendaraan khusus untuk bisa tiba di tengah kota. Dan becak adalah alternatif mengasyikan yang saya pilih. Namun penampilan saya rupanya mengesankan para tukang becak bahwa saya adalah “pendatang baru” di tanah mereka, sehingga mereka pun langsung mematok tarif yang cukup mahal tanpa terlebih dahulu bertanya kemana tujuan saya. “Saya mau ke tempat kenalan saya, Bapak Robert Djonsoe, apakah Bapak tahu rumahnya dan berapa tarif becak kesana?,” saya bertanya pada si tukang becak, yang sebelumnya telah mematok tarif Rp 50.000. Setelah mendengar tujuan yang akan saya datangi, wajah si tukang becak tampak terkejut dan segera menjawab, “Oh, tarif kesana lima ribu rupiah saja,” ujar si tukang becak.

Dalam hati saya merasa geli bercampur bingung, betapa tidak, Robert Djonsoe adalah Kepala Polisi Resort Wamena saat itu. Dia dikenal dekat dengan warga setempat dan warga begitu menghormatinya, sehingga tidak heran bila si tukang becak langsung menurunkan harga hingga cukup “drastis”.

Setelah beristirahat sehari, petualangan pertama saya di Wamena pun dimulai. Dalam catatan yang saya susun, saya berencana akan mengunjungi salah satu desa tradisional di Lembah Baliem, yaitu Desa Walait. Hari itu di Desa Walait akan ada upacara adat, Bakar Batu, guna menyukuri nikmat yang telah diberikan oleh alam kepada manusia.

Setengah perjalanan menuju Desa Walait dapat ditempuh dengan mobil khusus yang digunakan untuk off road karena perjalanan yang ditempuh memiliki medan yang cukup berat: melewati hutan dengan jalanan buruk, berbatu dan menanjak. Setelah menempuh dua jam perjalanan dengan mobil, saya dan rombongan tiba di bukit tempat dimana akhir perjalanan dapat ditempuh dengan mobil.

Turut dalam rombongan saya adalah beberapa petugas polisi dari Kepolisian Resort Wamena. Kenapa ada polisi? Karena kondisi keamanan yang cukup rawan. Hutan-hutan di Lembah Baliem merupakan salah satu basis dari gerakan pro-kemerdekaan, Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga kami diingatkan untuk menyertakan pengawalan dari aparat polisi saat akan melintasi Lembah Baliem.

Selama dalam perjalanan menuju Walait, yang tergambar dalam benak saya adalah penduduk pedalaman Lembah Baliem yang hanya mengenakan koteka, atau pakaian tradisional bagi kaum lelaki di Papua, dan rok rumbia tanpa penutup dada bagi perempuannya. Namun, gambaran dalam benak itu buyar seketika saya turun dari mobil. Disana kami disambut oleh sekelompok gadis pedalaman Lembah Baliem, lengkap dengan kostum rok rumbia dan penutup dada. Saya berpikir, apakah pakaian tradisional kaum perempuan di Papua sudah mengalami “modernisasi” sehingga mereka kini mengenakan penutup dada…? Mungkin ada bagusnya, namun semoga saja tidak menghilangkan keaslian budaya di Lembah Baliem”.

Para gadis itu menyanyikan dan menarikan lagu dan tarian adat yang khusus dilakukan untuk menyambut tamu. Mereka tampak begitu gembira sehingga tanpa sengaja, kaki dan tangan saya ikut bergerak mengikuti tarian mereka.



Saya bersama rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Desa Walait. Kali ini perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Saya sempat bertanya kepada salah seorang polisi yang mengantar, “Bapak, berapa lama perjalanan ke Walait?”. Si polisi menjawab, “Sekitar dua sampai tiga jam”. Saya pun menggumam “Ampun jauhnya…”

Namun perjalanan menuju Desa Walait tidak terasa lama karena jalanannya yang menurun. Apalagi selama dalam perjalanan, penduduk pedalaman yang tadi menyambut saya dan rombongan selalu menyanyi dan menari. Bahkan sesekali langkah mereka terhenti karena gerakan khusus dari tari-tarian mereka.

Lembah Baliem memang indah. Itulah yang saya saksikan dengan mata dan kepala sendiri selama dalam perjalanan menuju Desa Walait. Hamparan tumbuhan yang menghijau tampak seperti permadani. Air sungai yang mengalir tampak sangat jernih. Honai-honai (rumah/tempat tinggal suku pedalaman) yang berjajaran menambah eksotis pemandangan, sementara kerumunan babi peliharaan penduduk pedalaman berkeliaran di sekeliling honai. Lembah Baliem bagaikan surga dunia.

Akhirnya setelah menempuh tiga jam perjalanan, saya dan rombongan pun tiba di Desa Walait. Kami disambut oleh Kepala Suku Besar Haliok Jelipele dan 12 Kepala Suku Adat. Para Kepala Suku Adat membentuk dua barisan saling berhadapan, sementara Kepala Suku Besar berada di tengah barisan. Ada keunikan saat Kepala Suku Besar Haliok Jelipele menyambut kedatangan saya dan rombongan: ia menangis, atau tepatnya meratap. Terheran-heran, saya pun bertanya kepada salah seorang anggota rombongan yang memahami bahasa suku pedalaman, “Mengapa Kepala Suku menangis?”. Pertanyaan saya dijawab, “Itu bukan menangis karena sedih, tapi tangisan gembira dan tanda terima kasih karena kita mau datang ke Upacara Adat Bakar Batu yang diadakan oleh penduduk Desa Walait. Tangisan itu sebagai tanda penghormatan”.

Usai tangisan Kepala Suku Besar berhenti, tradisi penyambutan lain dilakukan, yaitu saling bertukar hadiah. Ketua rombongan kami, yang adalah Kasat Serse Polres Wamena, diberikan koteka dan untaian bunga. Sementara Kepala Suku Besar diberikan kaca mata hitam. Kepala suku besar pun langsung mengenakan kaca mata hitam itu sebagai tanda penghormatan…tentu saja pemandangan ini membuat saya tersenyum.

Upacara Adat Bakar Batu pun dimulai. Upacara dimulai dengan musyawarah besar warga suku pedalaman. Kepala Suku Besar Haliok Jelipele mengingatkan warganya untuk tidak pernah merusak alam karena dari alamlah selama ini kehidupan mereka bersumber. Warga setempat pun diberikan kesempatan untuk menyampaikan keluh kesah mereka. Setelah musyawarah besar usai, acara dilanjutkan dengan Upacara Adat Bakar Batu. Sebenarnya Upacara ini adalah rangkaian proses membakar makanan diatas batu. Makanan yang dibakar adalah wam atau babi panggang, dan ubi, yang dalam bahasa suku pedalaman disebut hipere. Pembagian makanan berlangsung sangat adil: Kepala Suku Besar membagi sama rata daging babi panggang dan hipere, untuk selanjutnya oleh Kepala Suku Adat, potongan babi panggang dan hipere itu diberikan kepada warga yang sudah duduk berkelompok. Sungguh gambaran sistem demokrasi yang sangat indah.



Keramahan suku pedalaman di Desa Walait sangat luar biasa. Saat acara makan bersama, makanan yang tersedia hanya sayur-sayuran, hipere dan wam. Menyadari bahwa saya dan beberapa anggota rombongan lain tidak mengonsumsi daging babi, Kepala Suku Besar telah menyediakan makanan khusus buat kami. Melalui penerjemah yang ikut dalam rombongan, Kepala Suku Besar berkata kepada saya, “Kami sudah menyediakan ayam untuk makan Saudara. Saya harap Saudara mau makan bersama kami karena ini suatu kehormatan”. Terharu rasanya mendapatkan perlakuan istimewa dari mereka. Satu pelajaran tentang keramahtamahan telah saya dapat hari itu dari masyarakat yang oleh sebagian orang masih dianggap primitif.

Selama berada di Desa Walait, ada beberapa kejadian tidak biasa yang saya alami — boleh dikatakan mistis. Kejadian itu membuat saya sadar bahwa jika manusia memelihara alam dengan baik, maka alam juga akan baik kepada manusia. Inilah yang saya rasakan sendiri di Walait. Saat itu saya hendak buang air kecil. Saya bingung harus bagaimana, karena disana tidak ada kamar mandi. Seorang perempuan dari Suku Walait, dan tentu saja dengan didampingi penerjemah, mengantar saya ke sebuah sungai yang airnya luar biasa jernih namun arusnya deras.

Perempuan Walait itu berkata bahwa saya hanya boleh membuang air kecil di tengah-tengah sungai, dimana disana terdapat dua buah batu besar. Alasan perempuan Walait itu, alam hanya mengijinkan tempat itu saja untuk tempat penduduk buang air kecil dan mandi.

Melihat derasnya air, tentu saja saya tidak berani berjalan menuju ke tengah-tengah sungai. Selain karena saya tidak bisa berenang, saya pun yakin arus yang deras itu tidak bisa dilewati. Jarak pinggir sungai ke tengah-tengahnya pun cukup jauh, sekitar 100 meter. Tampaknya perempuan Walait itu mengerti kebingungan saya. Kemudian dia berkata bahwa saya harus minta izin terlebih dahulu kepada sungai dengan cara membasuh wajah saya dengan air sungai, dan saya harus yakin bahwa sungai tidak akan mencelakan saya. Karena sudah tidak bisa menahan untuk buang air kecil, saya pun menuruti kata-kata perempuan Walait tersebut: mengambil air sungai dan membasuh wajah saya. Ajaib. Saat kaki saya mulai melangkah, arus sungai yang sangat deras tiba-tiba menjadi pelan dan tenang. Saya pun bisa berjalan ke arah dua batu tersebut dan buang air kecil dengan tenang.

Kejadian mistis lain yang saya alami adalah saat hujan turun ditengah berlangsungnya musyawarah adat. Ternyata bagi penduduk pedalaman Lembah Baliem, jika hujan turun saat upacara adat berlangsung, itu diartikan ada penduduk yang melakukan “kesalahan”. Maka sebagai Kepala Suku Besar, Haliok Jelipele harus meminta maaf kepada alam. Dengan kekuatan magis yang dimilikinya, Haliok Jelipele menghadap kepada awan yang berwarna paling hitam kemudian berbicara dengan alam sambil menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan berlari-lari kecil sambil berputar. Kepala Suku Besar kemudian mengambil busur dan anak panah, untuk selanjutnya melepaskan anak panah itu dari busurnya ke empat penjuru mata angin. Sekali lagi, ajaib. Hujan yang turun cukup deras seketika berhenti dan langit kembali biru.

Setelah berada selama enam jam di Desa Walait, saya dan rombongan harus segera kembali ke Kota Wamena. Sebelum kami pulang, Kepala Suku Adat Besar mengatakan bahwa kami sudah harus melewati pohon besar sebelum hujan turun, karena jika tidak, maka kami tidak bisa pulang. Memang saat saya dan rombongan akan pulang, langit sudah kembali menghitam. Perasaan kaget dan takut bermain-main di kepala saya karena perjalanan pulang yang akan kami tempuh bukanlah sebuah medan yang ringan: jika saat datang, kami menempuh jalan menurun, maka saat kami pergi, kami menempuh jalan menanjak.

Dengan diantar oleh beberapa pria Desa Walait, saya dan rombongan pun memulai perjalanan pulang. Tentu saja kami cepat menjadi lelah karena jalanan yang amat menanjak. Kami berhenti sesekali untuk mengatur nafas dan istirahat, sementara hujan rintik-rintik mulai turun dari langit. Salah seorang pria dari Desa Walait itu menyarankan agar kami tidak terlalu banyak beristirahat karena alam sedang tidak bersahabat. Untuk mempercepat waktu, dia dan beberapa pria Walait lainnya mengusulkan untuk menggendong saya dan beberapa anggota rombongan. Awalnya saya menolak karena tidak sampai hati. Badan pria-pria Desa Walait itu kecil dan tentu akan sangat sulit untuk menempuh perjalanan menanjak seraya menggendong orang lain. Tapi memang tidak ada pilihan lain, akhirnya saya dan beberapa orang dari anggota rombongan digendong oleh pria-pria Walait itu. Ternyata, sekalipun tubuh mereka kecil, mereka memiliki tenaga yang sangat kuat. Dalam waktu setengah jam, saya dan rombongan sampai ditempat kami memarkir mobil. Dan segera setiba di tempat mobil kami terparkir, hujan turun dengan deras.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju hotel. Sesampainya di hotel, saya langsung mandi air hangat. Perjalanan menuju Desa Walait amat menguras keringat dan tenaga, sehingga tidak lama setelah mandi, saya pun terlelap.

Baca juga di : http://wisataloka.com/jelajah/adat-dan-demokrasi-di-desa-walait-papua/

Kenikmatan Khas Udang Selingkuh

Banyak orang berkata bahwa jika Anda pergi ke Papua, namun tidak menjejakan kaki di tanah Wamena, itu sama saja berarti Anda belum ke Papua. Wamena memang merupakan salah satu kota impian yang sangat ingin saya kunjungi; sebuah tempat di dataran tinggi Papua yang terasa sejuk kendati di siang hari saat matahari bersinar dengan terik.

Berjalan-jalan di pusat kota Wamena merupakan sebuah pengalaman yang tak penah saya lupakan. Dengan menumpang sebuah becak, mata saya menyapu hamparan bunga-bunga yang tumbuh liar di sepanjang jalan; tampak pula satu-dua laki-laki dan perempuan yang berjalan kaki hanya dengan mengenakan pakaian tradisional mereka : koteka bagi kaum lelaki dan rok rumbai tanpa penutup dada bagi kaum perempuan. Saat ini mayoritas masyarakat Papua memang tidak lagi mengenakan pakaian tradisional mereka kecuali pada saat-saat tertentu, termasuk upacara adat.

Kota Wamena berada di kawasan Lembah Baliem. Selain panorama alamnya yang indah, Kota ini pun menawarkan kuliner dengan rasa yang amat menggoda dan salah satu yang sangat terkenal adalah Udang Selingkuh. Nama makanan ini terdengar unik di telinga, namun sebaiknya anggapan miring tentang istilah “selingkuh” dibuang jauh-jauh dari pikiran. Kata Selingkuh dalam kuliner ini dimaksudkan pada kedua capit panjang yang terdapat di kepala udang tersebut, yang sebetulnya lebih menyerupai capit kepiting. Ukuran udang air tawar ini pun lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran udang pada umumnya.

Udang Selingkuh umumnya disajikan dengan cara digoreng, namun ada pula yang memesan menu kuliner ini dalam bentuk rebusan. Penyuka Udang Selingkuh goreng dapat memilih menu lain seperti nasi hangat dan tumis kangkung sebagai pelengkap rasa. Penyajian Udang Selingkuh pun dapat beragam, tergantung selera : dengan racikan saus mentega, atau saus tiram, saus padang, atau saus asam manis. Bagi mereka yang memilih Udang Selingkuh rebus, alangkah terasa sedap jika menggabungkan menu kuliner ini dengan sepiring nasi hangat plus sambal tomat dan lalapan sebagai pendamping. Ada lagi cara penyajian yang lain, yaitu dibakar. Namun, jenis penyajian ini tidak terlalu sering dilakukan.

Salah satu rumah makan di Wamena yang memasukkan menu Udang Selingkuh dalam daftar makanannya adalah Rumah Makan Blambangan, yang berlokasi di Jl. Trikora. Di rumah makan ini, harga satu porsi Udang Selingkuh terbilang cukup mahal, berkisar antara Rp 70.000 hingga Rp 100.000, termasuk sepiring nasi hangat. Mahalnya harga perporsi Udang Selingkuh ini dikarenakan langkanya jenis udang tersebut di pasar, pun tidak sembarang tempat di Wamena menyajikan jenis kuliner ini.

Baca juga di : http://wisataloka.com/boga/kenikmatan-khas-udang-selingkuh-2/

25 Desember 2009

Mie Aceh



Banda Aceh sudah tidak asing buat saya. Untuk kepentingan peliputan dari Jakarta, saya sudah mendatangi ibukota Aceh ini berkali-kali. Namun, kali ini kedatangan saya bukan untuk peliputan. Menjelang akhir 2009, bersama suami, saya datang untuk mengenalkan pada putra pertama kami tentang kampung halamannya. Suasana menjadi jauh lebih santai. Dan saya memiliki waktu untuk menikmati kota atau hidangan khas Aceh; sesuatu yang dahulu harus saya lakukan terburu-buru ditengah padatnya pekerjaan.

Di Banda Aceh, ada satu jenis kuliner yang selalu menggoda perhatian saya. Ya, mie Aceh namanya, dan yang menjadi favorit saya adalah mie kepiting. Salah satu tempat “jempolan” yang menjual mie kepiting adalah di kedai Mie Razali. Kedai yang terletak di Jalan Panglima Polim ini setiap harinya ramai dikunjungi pembeli. Di sini orang tidak hanya memburu mie kepiting, tetapi juga versi lain, seperti mie udang, daging, atau seafood.

Mie Aceh dapat dicicipi dengan dua cara, yakni digoreng atau direbus alias menggunakan kuah. Untuk rasa, Anda bisa memilih sendiri, apakah ingin pedas atau tidak. Mie kepiting biasanya disantap ketika masih hangat, tentu dengan tak melupakan emping dan acar bawang merah sebagai pendamping santapan. Dengan menyantap mie kepiting, Anda akan merasakan rempah-rempah khas Aceh secara kental. Rempah-rempah ini tidak hanya terasa di setiap helai mie, tetapi juga saat Anda menyantap daging kepitingnya.

Harga satu porsi mie kepiting sepertinya relatif mahal, yaitu Rp 28 .000. Meski demikian, harga itu menjamin kepuasan Anda saat menikmati mie kepiting.

Nah, jika Anda ingin mencoba memasak sendiri mie aceh di rumah, berikut resep lengkap mie Aceh:

Bahan:

* 400 gram mie basah/kuning
* 750 mililiter kaldu sapi
* 150 gram udang basah, bersihkan, buang kulitnya
* 150 gram daging kambing/sapi, potong dadu
* 1 ekor kepiting
* 1 buah tomat, potong dadu
* 4 siung bawang putih, iris tipis
* 3 siung bawang merah, iris tipis
* 60 gram tauge, siangi, buang buntutnya
* 100 gram kol, iris tipis
* 1 sendok teh cuka
* 2 sendok makan kecap manis
* 1 batang daun bawang, iris halus
* 1 sendok makan seledri, iris halus
* 2 sendok teh garam
* Merica secukupnya
* 3 sendok makan minyak goreng

Bumbu halus:

* 5 buah bawang merah
* 3 siung bawang putih
* 4 buah cabai merah, buang bijinya
* ½ sendok makan bubuk kunyit
* 4 butir kapulaga
* 1 sendok teh jinten, sangria
* 1 sendok teh lada butir

Pelengkap:

* Emping goreng
* Acar mentimun
* Irisan bawang merah

Cara membuat:

1. Tumis bawang merah iris, bawang putih iris, dan bumbu halus hingga harum.
Masukkan daging, aduk dan masak hingga daging berubah warna. Lalu tambahkan
udang, kepiting, dan tomat, dan aduk rata.
2. Masukkan kaldu, seledri, daun bawang, garam, dan cuka. Masak hingga daging
matang dan air berkurang sambil sesekali diaduk.
3. Masukkan kol dan tauge, dan aduk rata. Kemudian tambahkan mie dan kecap manis.
Aduk hingga semua bahan tercampur rata dan matang. Lalu angkat.
4. Sajikan panas-panas dengan acar mentimun dan emping goreng.

Ya, dan mie Aceh pun siap disantap. Jika Anda belum pernah mencicipinya, maka cobalah. Ia akan mampu menggedor imajinasi Anda pada makanan.

Baca juga di : http://wisataloka.com/boga/mie-aceh/

16 Oktober 2009

Kini, Tak Ada Lagi “Borhat Ma Da Inang”


Almarhum tulang Jhony Hutagaol
8 Oktober 1954 - 15 Oktober 2009

… Syair Lagu Borhat Da Ma Da Inang …

Borhat ma dainang
Tubuan laklak ho inang tubu sikkoru
Borhat ma dainang
Tubuan anak ho inang tubuan boru

Horas ma dainang
Rongkapmu gabe helanghi dongan matua
Horas ma dainang
Ditongan dalan nang dung sahat ro di huta

Unang pola tangisho
Ai tibu do ahu ro
Sirang pe ahu sian ho
Tondinghi gumonggom ho

Mengkel ma dainang
Sai unang tangis ho inang martuk tukian
Ingot martangiang
Asa horas hamu nalaho nang na tinggal

Tak ada lagi suara merdu yang melantuntakan lagu Batak berjudul “Borhat Ma Da Inang” itu. Menjelang subuh, sekitar pukul 03.30 WIB, telepon dari mama yang sedang di Medan mengabarkan berita duka. “Diu, tulang Jhony meninggal”. Berita itu singkat, namun seperti sebuah tamparan yang sangat – sangat keras. Berita itu menghilangkan kantuk yang masih menyergap ku. Sontak dari mulut ku terucap Inallilahi Wa Inalilaihi Rojiun, tak terasa badan gemetar, air mata menetes.. 15 Oktober 2009, tulang tercinta JHONY HUTAGAOL kembali kepelukan Allah SWT.

Kepergiaan tulang Jhony menghadap Illahi membangkitan banyak memori akan sosoknya. Buat ku tulang Jhony adalah seorang yang memegang teguh prinsip adat Batak, namun berpikiran modern dan bertindak berlandaskan ajaran agama Islam.

Tulang Jhony juga sangat dekat dengan keponakan – keponakannya. Tulang memang tinggal sangat jauh, di Medan. Namun bagi kami, terutama aku, keponakan – keponakannya yang tinggal di Jakarta, tulang Jhony sangat dekat. secara fisik kami memang berjauhan, namun hati kami sangat dekat. perhatian dan kedekatan tulang Jhony dengan keponakan – keponakannya di Jakarta antara lain dengan hampir selalu menghadiri pesta pernikahan para keponakannya. Dan sudah dipastikan, kalau tulang Jhony datang maka suara merdunya akan membahana di ruang pesta pernikahan. Lagu “Borhat Ma Da Inang” akan menjadi lagu yang pasti akan dinyanyikan oleh Tulang Jhony.

Suara merdu tulang Jhony juga membuat terkesima para undangan di resepsi pernikahan ku pada 28 Januari 2006. Dengan lengkingan suara yang tinggi tulang Jhony nyanyi mengiringi Opung – Mamatua & Bapaktua – Tulang & Nantulang dalam prosesi mangulosi aku dan abang.

Kepergian tulang Jhony memang mengagetkan. Karena rencananya tanggal 16 Oktober ini, tulang akan menikahkan putri pertamanya Meta. Semua keluarga yang tinggal di Jakarta berkumpul di Medan untuk menghadiri hajatan tulang Jhony. Namun, Allah berkehendak lain, tulang lebih dahulu dipanggil oleh Allah dan tidak bisa menikahkan putrinya. Kepergiaan tulang ke peristirahatan terakhirnya diantarkan oleh seluruh adik, kakak & abangnya yang telah lengkap berkumpul di Medan.

Tulang selalu menyanyikan lagu “Borhat Ma Da Inang” di pernikahan keponakan – keponakannya. Namun, di pernikahan putrinya tulang Jhony tidak bisa menyanyikan lagu yang liriknya berpesan untuk anak perempuan dan mantu nya yang memulai hidup baru agar jangan bersedih karena memulai hidup baru tanpa orang tua, selalu sehat selalu memperoleh putra putri dan selalu ingat berdoa.

Tulang Jhony sudah tiada. Allah SWT pasti telah memiliki rencana yang lebih indah untuk tulang Jhony dengan memanggilnya untuk pulang kepada Nya.

Kini …
Tiada lagi tawa menggelegar tulang Jhony.
Tiada lagi suara keras tanpa amarah tulang Jhony.
Tiada lagi nasehat bijaksana tulang Jhony.
Tiada lagi suara merdu tulang Jhony.
Tiada lagi lagu “Borhat Ma Da Inang” tulang Jhony.

Selamat jalan tulang JHONY HUTAGAOL. Semoga amal ibadah tulang diterima Allah SWT, dan tulang ditempatkan disisi Allah SWT yang paling layak. Teriring doa dari Diu & taufik untuk tulang, serta doa Alvaro untuk opung Jhony.

We love you full tulang. We will always miss & remember you forever. (Diu Oktora/ Cluster Valencia - 15 Oktober 2009)

01 September 2009

Klaim Kebudayaan & Sinetron

Hubungan Indonesia Malaysia lagi – lagi tegang, kali ini karena Malaysia mengklaim seni budaya asal Bali, Tari Pendet sebagai milik mereka. Klaim itu dapat dilihat dari iklan pariwisata Malaysia di televisi – televisi. Berbagai protes menentang kelakuan Negara tetanggu itu pun bermunculan. Aksi demontrasi – pembakaran bendera Malaysia bahkan seruan Ganyang Malaysia yang sempat dilontarkan Presiden pertama Indonesia – Soekarno kembali terdengar.

Aksi klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia bukan kali ini saja terjadi, namun sudah sering kali dan berulang – ulang. Pada tahun 2007, Malaysia mengklaim lagu “Rasa Sayange” asal Ambon – Maluku sebagai lagu tradswional mereka. Masih pada tahun yang sama kesenian asal Jawa, Wayang Kulit juga diklaim. Dalam berbagai acara kesenian, wayang dipentaskan sebagai kesenian Malaysia. Tahun 2008, giliran Reog Ponorogo dari Jawa timur dan Keris yang diakui sebagai kesenian Malaysia.

Masih banyak lagi kesenian asli Republik Indonesia yang diaku – akui Malaysia. Misalnya beberapa lagu yang sempat hak milik mereka antara lain lagu “Burung Kakak Tua” dari Maluku, lagu asal Nusa Tenggara “Anak Kambing Saya”, “Soleram” asal Riau, “Injit – Injit Semut” dari Jambi. Bahkan Batik Parang – Yogyakarta juga dengan seenaknya dibilang budaya Malaysia.

Kelakuan klaim seenaknya Malaysia, tidak hanya soal budaya tapi juga wilayah. Lihat saja aksi maneuver seenaknya Tentara Diraja Malaysia di perairan Ambalat – Kalimantan Timur. Dan yang teranyar pengakuan atas Pulau Jemur, pulau terluar di kepulauan Riau.

Dibalik hiruk pikuk menolak klaim kebudayaan dan wilayah yang dilakukan oleh Malaysia, coba sejenak kita menoleh kedunia pesinetronan kita.

Beberapa waktu lalu, gue sempat bedrest selama 10 hari. Selama bedrest kerjaan utama gue adalah melahap semua tayangan televisi termasuk sinetron. Di salah satu televisi swasta nasional kita menayangkan sinetron berbau – bau Malaysia. Pemainnya beberapa artis papan atas Indonesia. Dalam sinetron tersebut dialog yang digunakan adalah bahasa Malaysia, logat – logat melayu.

Kebetulan mbak yang ngasuh alvaro anak gue, doyan banget nonton sinetron itu, karena kebetulan dia berasal dari Pontianak sehingga mengerti bahasa melayu Malaysia. Jadilah gue ikut – ikutan nonton. Ada yang menarik dari sinetron itu, dalam beberapa dialognya sering kali pemainnya mengucapkan kata – kata yang menghina Bangsa Indonesia, seperti “kan orang Indonesia itu pembantu semua” atau “Indonesia itukan negara miskin”.

Nah loh, disaat kita menganggap Malaysia menghina Indonesia dengan mengklaim sejumlah kebudayaan nasional kita. Tapi televisi nasional kita justru menanyangkan sinetron yang berlatar belakang kehidupan orang Malaysia dan ceritanya kalau boleh gue sebut malah menghina Indonesia sendiri. Ironisnya, yang main adalah artis Indonesia, televisi yang menayangkan adalah televisi nasional Indonesia…. Bagaimana ini??? (Valencia Home, 01 September 2009 – Diu Oktora)

Klaim Budaya = Negara Tidak Beridentitas

Ganyang Malaysia … seruan itu belakangan ini kembali ramai dikumandangkan. Bukan tanpa sebab ajakan melawan negeri serumpun Indonesia berkobar. Aksi klaim Malaysia terhadap kebudayaan Nusantara menjadi pemicunya. Hubungan Indonesia dan Malaysia beberapa minggu belakangan ini kembali tegang. Kali ini penyebabnya adalah klaim Malaysia terhadap tari Pendet. Melalui iklan pariswisatanya yang disiarkan melalui televisi – televisi Malaysia mengklaim tari tradisional asal Bali tersebut sebagai bagian dari budaya asli mereka.

Aksi protes terhadap kelakuan Malaysia pun berdatangan dari dalam negeri. Mulai dari aksi unjuk rasa, pembakaran bendera bahkan ajakan berperang terhadap Malaysia pun bermunculan. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pariwisata juga melayangkan protes ke negeri jiran.

Aksi klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia bukan kali ini saja terjadi, namun sudah sering kali dan berulang – ulang. Pada tahun 2007, Malaysia mengklaim lagu “Rasa Sayange” asal Ambon – Maluku sebagai lagu tradswional mereka. Masih pada tahun yang sama kesenian asal Jawa, Wayang Kulit juga diklaim. Dalam berbagai acara kesenian, wayang dipentaskan sebagai kesenian Malaysia. Tahun 2008, giliran Reog Ponorogo dari Jawa timur dan Keris yang diakui sebagai kesenian Malaysia.

Masih banyak lagi kesenian asli Republik Indonesia yang diaku – akui Malaysia. Misalnya beberapa lagu yang sempat hak milik mereka antara lain lagu “Burung Kakak Tua” dari Maluku, lagu asal Nusa Tenggara “Anak Kambing Saya”, “Soleram” asal Riau, “Injit – Injit Semut” dari Jambi. Bahkan Batik Parang – Yogyakarta juga dengan seenaknya dibilang budaya Malaysia.

Kelakuan klaim seenaknya Malaysia, tidak hanya soal budaya tapi juga wilayah. Lihat saja aksi maneuver seenaknya Tentara Diraja Malaysia di perairan Ambalat – Kalimantan Timur. Dan yang teranyar pengakuan atas Pulau Jemur, pulau terluar di kepulauan Riau.

Kelakuan seenak – senaknya Malaysia juga tanpa sebab, mungkin sebagai negara serumpun kebudayan Indonesia dan Malaysia bisa saja ada kemiripan. Tapi walaupun ada kemiripan, pasti tidak akan sama, pasti aka ada perbedaan sebab lahirnya suatu budaya adalah dari kebiasaan penduduk setempat.

Persoalan pencatatan atau invetarisasi dan perlindungan hak cipta terhadap seni budaya bangsa kita yang tersebar diseluruh nusantara juga menjadi persoalan yang dengan mudah dimanfaatkan oleh Malaysia. Jika saja seluruh kebudayaan kita di invetarisasi dengan baik dan dilindungi hak ciptanya, mungkin saja negara – negara yang tidak bertanggung jawab tidak akan seenaknya mengklaim budaya kita sebagai milik mereka.

Usaha pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan kebudayaan ke dunia internasional sesungguhnya sudah banyak, misalnya muhibah misi kesenian Indonesia keluar negeri. Namun, mungkin sekarang pemerintah kita juga harus mulai melirik memperkenalkan budaya ibu pertiwi melalui publikasi multimedia, seperti iklan melalui televisi atau jaringan internet.

Budaya adalah identitas suatu negara. Jika suatu Negara hanya bisa mengklaim budaya Negara lain sebagai budaya negaranya, maka Negara tersebut tidak mempunyai identitas… Setuju kan???? (Valencia Home, 01 September 2009)

29 Agustus 2009

Amerika Ke Bulan, Indonesia Kemana?

Tulisan ini memang agak lama selesainya, soalnya rasa malas dan bosan plus hilang ide mengghingapi ku belakangan ini, sehingga akibatnya beberapa tulisan yang sudah setengah jalan terbengkalai, salah satunya tulisan soal pendaratan manusia ke bulan ini.

Menaklukkan angkasa luar merupakan program ambisius manusia. Bahkan, sejak jaman peradaban kuno angkasa luar sudah menarik bagi manusia. Di abad modern penelitian terhadap angkasa luar semakin menarik dan seru, bahkan dua negara besar Uni Soviet (kini namanya Rusia) dan Amerika Serikat saling berlomba untuk menunjukkan keungulan teknologi luar angkasa mereka.

Pada tahun 1957, Uni Soviet menunjukkan keungulannya dari musuh bebuyutanya, Amerika Serikat. Pada tahun itu, Uni Soviet dengan misi pesawat angkasa luarnya, Sputnik 1 berhasil mengorbitkan satelit di luar angkasa. Keunggulan Uni Soviet terus berlanjut, pada tahun 1961, kosmonot Uni soviet, Yuri Gagarin menjadi manusia pertama di dunia yang berhasil keluar angkasa.

Tidak mau kalah dari Uni Soviet, presiden ke 35 Amerika Serikat – Jhon F Kennedy, pada Mei 1961 di depan anggota Kongres menyampaikan impiannya untuk mendaratkan munusia pertama ke bulan. Dan, pada 20 Juli 1969 impian Jhon F Kennedy menjadi kenyataan. Dua orang astronot Amerika Serikat yang mengawaki Pesawat Appolo 11, Neil Amstrong dan Aldrin “Buzz” Gagarin menjadi manusia pertama di dunia yang menjejakkan kaki di bulan. Kesusksesan Amerika mendaratkan manusia ke bulan menjadi catatan sejarah bagi perkembangan penelitian teknologi Astronomi dunia.

Uni Soviet berhasil menerbangkan manusia pertama keluar angkasa. Amerika Serikat berhasil mendaratkan manusia pertama ke Bulan. Nah, bagaimana dengan Indonesia? Apa cita – cita penelitian antariksa Indonesia? Mengorbitkan satelit buatan sendiri dengan roket yang juga buatan senditi, itulah cita – cita penelitian luar angkasa Indonesia.

Kepala Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN, Bapak Sri Kaloka Prabotsari mengungkapkan Indonesia, khususnya LAPAN saat in mempunyai cita – cita untuk bisa mengorbitakan satelit dengan menggunakan peluncur roket Lapan sendiri. Untuk mewujudkan cita – cita tersebut langkah awal telah dilakukan dengan membuat roket RX 420. Diharapkan pada tahun 2014 Indonesia sudah bisa meluncurkan satelit dengan wahana peluncur buatan LAPAN.

Impian Indonesia memang tidak muluk – muluk. Untuk bisa mengirimkan manusia ke bulan tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Menurut Bapak Sri Kaloka, setiap Negara di dunia ini pasti ingin memperlihatkan bahwa mereka memiliki teknologi antariksa yang maju, nama untuk Indonesia keinginan atau cita – cita itu harus dipendam dulu karena banyak faktor yang tidak mendukung, misalnya adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi Indonesia masih tidak semaju mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan suatu saat ekonomi kita lebih baik, pemerintah – DPR dan rakyat mendukung bahwa kita berkeinginan untuk juga mengibarkan bendera merah putih diluar angkasa sana, kenapa tidak.

Kepala Observatorium Bosscha, Taufik Hidayat mengungkapkan untuk Indonesia cita – cita mengirimkan orang sampai ke bulan sangat jauh, sampau hari ini penelitian angkasa luar, khususnya bulan hanya untuk bidang pendidikan saja, salah satunya di manfaatkan untuk menentukan Hilal guna menentukan jatuhnya bulan puasa Ramadhan dan Idul Fitri untuk umat Islam.

Sebenarnya penelitian angkasa luar di Indonesia sudah ada sejak lama, bahkan Indonesia hampir memiliki astronot yang akan terbang ke luar angkasa. Tentu kita masih ingat dengan dua orang calon astronot kita, yaitu Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar.

Keberangkatan kedua calon astronot itu merupakan kerja bareng pemerintah Indonesia dengan Badan Antariksa Amerika Serikat atau National Aeronautics and Space Administration (NASA), dalam rangka peluncuran satelit kebanggaan Indonesia, Palapa. Namun, musibah meledaknya pesawat Challenger pada Januari 1986 menjadi awal yang memupuskan kesempatannya menjalankan ekspedisi bergengsi itu. Dan akhirnya pemerintah Indonesia benar – benar menggagalkan misi keberangkatan Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar pada tahun 1997 karena badai krisis moneter.

Tahun 1961, Rusia yang kala itu masih bernama Uni Soviet, sukses mengirim Kosmonot Yuri Gagarin sebagai manusia pertama di dunia yang terbang keluar angkasa. Tahun 1969, Amerika Serikat sukses mencatat seharah dengan mengirimkan Astronotnya Neil Amstrong dan Edwin “Buzz” Aldrin sebagai manusia pertama yang mendarat di Bulan.
Indonesia, pada tahun 2014 baru bercita – cita bisa meluncurkan satelit dengan wahana roket buatannya sendiri. Ada apa dengan Indonesia? Mengapa begitu tertinggalnya? Negara lain sudah mengirimkan manusia keluar angkasa, tapi Indonesia masih baru berfikir untuk mengirimkan misi tanpa awak.

Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Rusia, yang negaranya sudah lebih maju. Namun, mengapa Indonesia begitu tertinggal? Apa karena Indoneisa menganut paham “pelan – pelan yang penting sampai juga” atau pemerintah kita yang “agak kurang peduli” dengan penelitian luar angkasa. Tapi apapun alasannya semoga cita – cita meluncurkan atelit di 2014 nanti bisa terwujud, dan akhirnya Indonesia bisa menancapkan Sang Merah Putih entah di bulan atau planet lainnya… Amin (Diu Oktora/ Juli 2009)

27 Agustus 2009

Kami Hidup Bersama Deru Kereta Api


Pemukiman Penduduk Di Sepanjang Rel Kereta Api Pejompongan – Jakarta Pusat

Tak pernah terbayangkan dalam diriku hidup berdampingan dengan kereta api yang melaju kencang. Kali ini perjalanan liputan ku menemui mereka – mereka yang hidup berdampingan dengan si ular besi, yaa... Merekalah manusia – manusia pinggir rel kerata api.

Entah karena kurangnya lahan pemukiman untuk penduduk atau semakin banyaknya penduduk di Jakarta, sehingga Ibukota Negara Republik Indonesia ini tak kuasa menampungnya lagi, lahan – lahan disepanjang pinggir rel kereta api menjadi tempat bagi para penduduk untuk bermukim.

Rumah – rumah berjejer memadati lahan – lahan dipinggir rel kereta api. Kondisi ini sangat membahayakan baik bagi para penduduk maupun bagi kereta api itu sendiri. Bagaimana tidak? Jarak antara pemukiman penduduk dengan bahu kereta yang melaju dengan cepat jaraknya kurang lebih hanya 20 centimeter saja.



Salah satu pemukiman yang memadati lahan pinggir jalur kereta api adalah di kawasan Pejompongan – Jakarta Pusat. Dikawasan ini aku dan cameramen ku, Attaris Mauldin menemui Bapak Ahmad Nawawi.

Bagi pak Ahmad, hidup dipinggir rel kereta api memang bukan pilihan, tapi tidak ada pilihan lain alias terpaksa harus hidup berdampingan dengan si ular besi. Rumah Pak Nawawi benar – benar berada tepat dipinggir rel jalur kereta api Tanah Abang – Serpong. Halaman rumah laki – laki yang hampir berusai 70 tahun ini adalah rel kereta api. Di rumahnya yang berdindingkan tambalan – tambalan triplek dan papan, pak Nawawi hidup bersama 11 anggota keluarganya. Padahal ukuran rumah pak Nawawi hanya sebesar 2 x 2 meter saja.

Pak Nawawi tinggal dipinggir rel kereta api sudah sejak tahun 1995. Awal menempati lahan pinggir rel, pak Nawawi tidak tahu kalau areal sepanjang rel kereta api adalah milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Menurutnya, ketika dia akan membangun rumah sudah banyak rumah disekitar jalur rel kereta api.

Bagi pak Nawawi dan warga lainnya mereka telah terbiasa dengan kereta yang melaju di depan rumah mereka. Tidak pernah ada rasa khawatir pada mereka melihat kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi, biasanya mereka akan memberikan tanda sendiri kepada warga lainnya dengan berteriak ”ada kereta” .. ”awas kerata” setiap kereta api lewat, pak Nawawi dan warga lainnya pun langsung berhamburan masuk ke rumah masing – masing untuk mengamankan diri. Selain itu mereka juga sudah hapal jam berapa saja kereta api lewat.



Untuk bisa bertahan hidup, manusia memang harus berkompromi dengan lingkungannya, salah satunya adalah berkompromi dengan kereta api. Kompromi itulah yang dilakukan pak Nawawi dan warga yang tinggal di kawasan pinggir rel pejompongan. Jika mereka boleh memilih, tentu mereka tidak ingin tinggal berdampingan dan menantang maut, namun pilihan itu tidak ada. (Jakarta, Juni 2009/ Diu Oktora)

28 Juni 2009

Pelajaran Demokrasi Dalam Bus

Pelajaran Demokrasi Dalam Bus

Tadi malam (17/06/09) aku pulang naik bus Bianglala 44 jurusan Cileduk - Senin. Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tentu saja penumpang sudah jarang naik. Seperti biasa, Bus Bianglala 44 menjaring penumpang dibawah kolong sudirman, bus ngetem cukup lama, karena saat aku naik hingga bus jalan kurang lebih 15 menit lamanya.

Saat bus yg aku tumpangi masih asik ngetem, Bus Bianglala 44 lainnya datang & jumlah penumpangnya lebih banyak, kalau boleh ngutip bahasa kenek "pas kursi".

Kejar - kejaran antara bus yg aku tumpangi & bus yg satunya pun tak terhindari. Namun, sampai di pasar mayestik, kedua bis berhenti, itu tandanya akan ada penumpang yg dioper, ternyata penumpang di bus ku yg akan dioper.

Kontan & tanpa komando, nada protes penumpang bersahutan. "jgn mau dioper".. "bis itu penuh".. "jgn mau pada turun, duduk aja".. "pulangin uang kalo mau dioper".. "jangan narik kalo bisanya ngoper penumpang".. "kitakan udh bayar, kok seenaknya aja". Sahut - sahutan antar awak bus Bianglala & penumpang pun terjadi.

Tiba - tiba, dari arah belakang terdengar suara dari seorang bapak "udh voting aja, biar jangan lama - lama, udah malem nih". Si bapak itu melanjutkan bicara "penumpang mau dioper atau enggak", dgn kompak penumpang menjawab "ga, lanjut sampai cileduk".

Hmmm.. Dengan kesal awak bus mengakui kekalahannya, bus pun melanjutkan perjalanan menuju cileduk. Walaupun sepanjang perjalanan si supir ngebut, ga berhenti - henti bunyiin klakson, tapi paling tidak dia berani mengakui kekalahannya dalam voting penumpang, & menjalankan konsekwensinya.

Pelajaran pertama yang didapat adalah indah sekali jika semua persoalan diselesaikan secara demokratis, memang akan ada pihak yg menang & kalah. Tapi jika konsekwensi dari sebuah kemenangan & kekalahan dijalankan dengan penuh tanggung jawab, hasilnya akan menjadi lebih manis.

Pelajaran keduanya adalah jika kita sudah menjalankan tanggung jawab kita dengan baik, tentu kita berhak menuntut apa yang menjadi hak kita..

Salam Demokrasi (Diu Oktora/ 18 Juni 2009)

27 Juni 2009

Sudah Gila Dikerangkeng Pula

Miris!!! Begitulah yang pertama kali aku rasakan dalam perjalanan ku kali ini. Kabupaten Garut – Jawa barat, adalah tujuan ku, di kota Dodol ini aku meliput kehidupan orang – orang gila yang harus hidup dalam kerangkeng, dulu lebih dikenal dengan istilah dipasung.

Betapa tidak miris, mereka adalah manusia, walaupun kenyataannya mereka memang gila. Tapi, hidup mereka harus lebih buruk daripada binatang. Sangat tidak layak. Mereka harus hidup dalam kerangkeng berukuran 1 kali 1 meter. Semua aktivitas mereka, mulai dari makan, tidur, mandi, bahkan buang air dilakukan dalam kerangkeng itu.


Ket Gambar : Amin, dikerangkeng puluhan tahun


Ket Gambar : Tempat Amin dikerangkeng

Amin, warga Kampung Cibulakan Sindang Sari, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut – Jawa Barat yang harus hidup selama berpuluh – puluh tahun lamanya dalam kerangkeng. Sudah hampir 45 tahun lamanya Amin harus hidup dalam kerangkeng yang berukuran 1 kali 1 meter.

Amin adalah anak ke 4 dari tujuh bersaudara. Menurut ibunya, Mak Wati, sejak usia 2 tahun Amin sudah menunjukkan gejala penyakit gangguan jiwa alias gila. Keluarga sempat membawanya berobat ke Rumah Sakit dan orang pintar. Namun, karena kesulitan ekonomi pengobatan lelaki yang kini berusia 52 tahun terputus.

Memasuki usia 7 tahun, penyakit gila Amin makin parah, Amin kerap mengamuk dan sering memukul kakaknya. Bahkan, sejumlah barang elektronik seperti radio dan televisi milik keluarganya habis dirusak dan dibuang ke kolam, karena tidak ada biaya untuk berobat keluarga memutuskan untuk mengkrangkeng Amin. Akibat sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng tubuhnya terlihat kurus, rambut gembel. Bahkan karena sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng, Amin hanya bisa berjalan jongkok, kedua kakinya tidak dapat diluruskan.

Menurut Mak’ Iloh bila pikiran tenang, Amin seperti orang normal saja. Bahkan dia bisa diajak ngobrol dan sering berbaur dengan warga sekitar.Tapi Amin, sangat sensitif perasaannya. Jika tersinggung dan kemudian mengamuk, rasanya bumi seisinya mau dibuat hancur lebur seluruhnya.

Menurut Mak’ Iloh dan Mak’ Wati, Amin sengaja dikerangkeng dengan alasan agar tidak merusak dan mengganggu warga sekitar. Cara ini diyakini pihak keluarga dapat membantu penyembuhan Amin dari gangguan kejiwaannya. Namun, hingga saat ini dalam pemasungan, kondisi Amin tak kunjung membaik, malah sebaliknya, kini kondisi Amin sangat memprihatinkan.


Ket Gambar : Yani, dikerangkeng selama 8 tahun.


Ket Gambar : Tempat Yani dikerangkeng

Di Garut, tidak hanya Amin yang dikerangkeng. Yani, warga Desa Kutanagara, di Kecamatan Malangbong juga harus hidup dalam kerangkeng. Yani memang belum selama Amin hidup dalam kerangkeng, menurut ibunya Yani, Ibu Titi, anaknya baru 8 tahun dikerangkeng.

Yani juga gila, karena kerap kali mengamuk dan merusak saat penyakitnya kumat, keluarga dan tetangga pun memilih untuk memasukkan Yani dalam kerangkeng yang berada didepan rumah ibunya. Yani sebenarnya sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Bandung selama 1,5 bulan, namun belum pulih kondisinya oleh rumah sakit Yani dipulangkan.

Melihat apa yang dilakukan terhadap Amin dan Yani sungguh tidak manusiawi. Dulu oleh keluarga dan masyarakat, Amin dan Yani sama sekali tidak diijinkan keluar dari kerangkeng. Namun, karena sempat mendapatkan perawatan dari rumah sakit jiwa, kini Amin dan Yani terkadang dikeluarkan sesaat dari kerangkeng.

Amin dan Yani adalah gambaran kemiskinan yang masih mewarnai wajah bumi pertiwi kita. Tidak ada orang yang berkeinginan menjadi gila, termasuk Amin dan Yani. Mereka pun tidak pernah ingin hidup dalam kerangkeng. Kemiskinan ditambah bunbu penyedap gila adalah aib bagi keluarga, menjadi kerangkeng solusi termudah. Kasihan, sudah gila, dikerangkeng pula. (Diu Oktora / 26 Juni 2009)

Bertahan Di Kolong Jembatan

Suasana malam di kolong jembatan kawasan Pisangan Lama, Jatinegara - Jakarta Timur terasa temaram dan hening. Hampir seluruh pedagang yang berjualan sudah menutup kiosnya, kecuali sebuah kios yang telah disulap menjadi panggung kecil. Suara gendang dan alunan nyanyian sinden, memecah keheningan malam.

Mereka mereka adalah Rombongan Jaipong Mekar Mungaran, yang setiap malam selalu menggelar pentas tari jaipong. Delapan orang penari jaipong merangkap sebagai sinden, menari dan menyanyi, menghibur penonton hingga pagi.

Pementasan biasanya dilakukan setiap malam, kecuali pada malam Jumat, pagelaran jaipong rombongan Mekar Mungaran libur. Pada Rabu malam alias malam Kamis, saya dan dua teman cameraman, Attaris Mauldin & Erfin Yunizar mengambil gambar pementasan para penari jaipong di malam hari.

Pengambilan gambar mulai dilakukan sejak para penari bersiap – siap dan berdandan di bedeng tempat mereka tinggal. Biasanya, tiga jam sebelum pentas, para penari jaipong sudah bersiap dan berhias. Menghias wajah, menjadi bagian penting para penari jaipong. Wajah berbedak tebal, pewarna bibir merah menyala dan alis mata palsu menjadi syarat yang diyakini dapat memikat hati penonton. Rambut digelung berhiaskan bunga, kebaya sederhana dan serangkaian perhiasan imitasi digunakan untuk melengkapi penampilan.

Sekitar jam sepuluh malam, para penari jaipong rombongan mekar mugaran mulai melenggak-lenggokan tubuh mereka. Malam sudah semakin larut, penonton mulai berdatangan. Namun jumlah penontonya bisa dibilang tak banyak namun setiap malam selalu ada penonton, terutama para penonton setia yang ingin menyaksikan sang primadona mereka bergoyang.

Larutnya malam, semakin membuat para penonton berani. Sebagian dengan percaya diri masuk ke arena dan memberi uang persenan atau saweran kepada penari dan sinden. Salah seorang penonton setia Rombongan Mekar Mungaran adalah Erwin asal Bekasi – Jawa Barat.

Saya sempat berbincang dengan Erwin. Lelaki yang setiap harinya berdagang Seafood di Mester – Jatinegara mengaku setiap malam, kecuali pada malam jumat selalu berusaha menyaksikan penari pujaannya bergoyang. Uang lembaran seribuan rupiah selalu disiapkan untuk saweran. Tiap malam paling sedikit Erwin menghabiskan uang paling sedikit 300 ribu rupiah untuk nyawer.
Penonton yang nakal sering kali memanfaatkan saweran untuk menggoda para penari dan sinden jaipong. Saat memberikan uang saweran penonton memainkan uang di jari-jari tangannya sehingga tangan pesinden cukup lama berada dalam jabatan tangannya. Bahkan ada juga yang mengambil kesempatan mencolek – colek penari jaipong.

Ipah, salah seorang penari Jaipong di Rombongan Mekar Mungaran mengakui penonton yang iseng memang banyak. ” Ya ada, kalau lagi nyawer gitu ada yang, biasalah orang kan ga sama, yang genit mah ada. Towel – towel lah, gimana gitu, megang. Kitanya jadi risih aja, kitanya minder aja. Agak kebelakang kalau pas lagi nyawer, jadi ga terlalu deket sama dia yang nyawernya. Kalau yang kaya begitu mah banyak, gimana biasanya godainnya? Ya gimana, senyum – senyumlah, ngajak kenalan. Terus akhirnya ya bajidor (nyawer) begitu.”

Sudah 12 tahun Rombongan Mekar Mungaran rutin manggung di daerah kolong jembatan Pisangan Lama – Jatinegara. Sang pemilik rombongan, Ibu Atun bercerita, sebenarnya dirinya tidak pernah terpikirkan untuk memiliki rombongan jaipong, apalagi dirinya juga tidak memiliki jiwa seni. Namun, 12 tahun lalu pemilik toko disebalah warung makan miliknya menjual tokonya, yang kemudian dibeli oleh suami Ibu Atun.

Rombongan Mekar Mungaran memiliki 8 orang penari yang menrangkap sebagai sinden, mereka kebanyakaan berasal dari Karawang – Jawa Barat. Kehidupan penari Jaipong Mekar Mungaran sangat berbeda dengan penampilan mereka diatas panggung, yang selalu tersenyum bahkan tertawa. Kehidupan keseharian mereka sesungguhnya jauh dari senyum dan tawa yang mereka berikan diatas panggung.

Kehidupan keseharian para penari jaipong ini, dapat dikatakan sangat tidak layak, itu terlihat dari tempat mereka tinggal setiap hari, yaitu sebuah bedeng yang disewakan sang pemilik untuk mereka tinggali secara bersama – sama.

Tidur beralaskan tikar dengan bantal yang tipis. Dinding dan atap yang terbuat dari triplek terlihat bolong – bolong disana sini. Baju, pakaian dalam wanita, perkakas rias menjadi pemandangan yang selalu menghiasi bedeng. Di dalam bedeng juga tidak ada kamar atau ruangan bersekat, sehingga jika para penari hendak berganti pakaian, cukup dengan membuat tirai dari kain.

Para penari dan sinden jaipong, mendapat penghasilan dari pemberian atau saweran penonton. Dalam semalam hasil saweran yang diperoleh bisa mencapai empat ratus ribu. Jumlah itu harus dipotong untuk pimpinan kelompok dan biaya hidup penari selama tinggal di bedeng, jadi dalam sekali menari paling para penari hanya memperoleh uang sekitar 50 ribu hingga 80 ribu rupiah.

Walaupun menjalani hidup dengan penuh ketidaknyamanan, Ipah dan kawan – kawan tetap memilih menari di Jakarta, karena dari segi waktu jauh lebih enak walaupun uang yang didapat sebenarnya lebih sediki.

Ipah sempat menuturkan kepada Saya alasannya mengapa memilih menari di Jakarta ” Kalau dikampung cape mbak, pindah – pindah tempat, kurang istirahat. Kalau disini manggung cuman semalem doang, siangnya bisa istirahat, udah bebas, mau tidur seharian bisa, ga kaya dikampung. Kalau di kampung kan siang malam manggungnya, jadi cape di jalan, cape di mobil”.

Dalam setiap pementasan Rombongan Mekar Mugaran sering pula memasukkan unsur musik dangdut, karena dapat membuat suasan menjadi lebih meriah. Nurmayan biasa di sapa kang maman, guru tari jaipong menilai mereka itu bukan penari jaipongan. “ Kalau yang dipinggir jalan itu karena kebutuhan ekonomi, dan kebetulan mempunyai modal berkesenian dengan vocal, tari seadanya dengan make up, katakanlah otodidak. Jadi belajar dari melihat dan mendengar”.

” Bedanya dengan penari jaipong apa? Ada, kalau penari jaipong terpola, ada susunan, seperti kurikulum, ada tari dasar ada tari tingkat satu, tingkat dua berdasarkan lagu, ada struktur geraknya yang jelas. Kalau penari jalanan itu? Mereka bentuknya improvisasi, dia hanya kepuasaan sesaat, kepuasan batin, ingin melampiaskan emosional mereka melalui gerak dengan satu keterbatasan kreografinya”.

Menari erotis dan seksi, bagi para penari jaipong adalah dilema. Di satu sisi para penari tidak ingin mengumbar sensualitas, tapi di sisi lain penonton menginginkan mereka menari yang menjurus pada erotisme. Kalau mereka tidak mengikuti selera penonton, maka penonton akan meninggalkan mereka, yang artinya pendapatan mereka akan merosot.

Dilema sensualitas dan pelestarian budaya. (Diu Oktora/ 7 Juni 2009)

31 Maret 2009

Pedagang Pasar Terhimpi Jaman

Kemajuan jaman ternyata merubah gaya hidup manusia, termasuk juga dalam urusan gaya belanja. Dulu orang hanya mengenal pasar tradisional sebagai tempat satu – satunya yang menjual segala macam kebutuhan hidup mulai dari sembako – pakaian – dan peralatan rumah tangga lainnya. Kini, seiring tuntuan perubahan gaya belanja konsumen bermunculan apa yang namanya pasar modern.

Kehadiran pasar modern ternyata memberikan dampak yang sangat besar terhadap keberadaan pasar tradisional di Jakarta, yang akhirnya berdampak juga terhadap para pedagang.

Program Mata Rantai – Antv mencoba memotret dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional. Untuk melihat dampaknya secara langsung, gue mendatangi beberapa pasar tradisional yang berada disejumlah kawasan di Jakarta.

Salah satu pasar tradisional yang mencoba berdiri kokoh ditengah maraknya keberadaan pasar modern adalah Pasar Kramat Jati, di kawasan Jakarta Timur. Menjelang tengah malam, para pedagang Pasar Kramat Jati mulai menggelar lapak – lapak tempat mereka berjualan. Sontak, pinggiran jalan Kramat Jati disesaki oleh para pedagang. Jalan raya yang umumnya lenggang pada tengah malam, tidak berlaku di kawasan jalan Kramat Jati. Di jalan ini justru kemacetan teramat sangat yang terjadi. Suara klakson saling saut – sautan menjadi melodi yang terdengar.

Salah seorang pedagang yang gue temui, Pak Mislan. Sudah 30 tahun bapak 6 orang anak ini berjualan di pinggir jalan Kramat Jati. Sebenarnya Pak Mislan tidak ingin berjualan di pinggir jalan, karena resiko tertabrak kendaraan bisa saja dialami. Namun, harapan untuk memiliki kios ditempat yang lebih baik, lebih aman atau di dalam pasar terpaksa dikubur dalam – dalam.

” Ya..mau pindah, ya ga ini, tapi ga punya modal, sebenarnya mau pindah pasar lain, tapi ga punya modal.Ya..kata orang-orang itu yang ini mahal pasar itu ” keluh Pak Mislan.

Kesulitan yang dirasa Pak Mislan semakin bertambah sejak hadirnya pasar modern. Di Pasar Kramat Jati, tempat dimana Pak Mislan biasa berjualan tiap hari berdiri kokoh salah satu pasar tradisional terbesar di Indonesia. Dampaknya pendapatan Pak Mislan menurun.

”Saya jualan dari tengah malam sampe pagi, pengahasilan yang didapat ga pernah cukup. Dulu bersih bisa dapat 500 ribu sehari, sekarang bisa dapat 200 ribu sehari aja udah sukur. Yang beli makin kurang, mungkin males ke pasar tengah malam atau pagi. Mending datang ke sebelah siang – siang aja”.

Bergeser ke Pasar Kebayoran Lama, di Jakarta Selatan. Gue sempat ngobrol – ngobrol dengan 2 orang ibu – ibu yang tiap hari berjualan di pinggir jalan raya Pasar Kebayoran Lama, Ibu Haryanti & Ibu Tarwati. Keluhan yang sama juga terlontar dari kedua ibu – ibu tersebut.

Ibu Haryanti dan Ibu Tarwati terpaksa harus berjualan ditempat yang tidak layak, misalnya di pinngiran jalan raya. Mereka sesungguhnya menginginkan pidah ke tempat yang lebih layak, namun harga tempat baru yang mahal membuat mereka memilih bertahan ditempat yang lama

” Keinginannya ya mah ya jualan habis banyak,untungnya gede ya ingin,tapi dapetnya segini ya terima aja bu. Sudah ini lah mba, sudah ngga ada tempatnya. Dapet tempat kaya gini sudah alhamdulilah, terimakasih kaya gini sudah dapet tempat jualan saja terima kasih banyak bu ” Tutur Ibu Haryanti.

Mengamini ucapan Ibu Haryanti, Ibu Tarwati pun mengungkapkan keluhan yang sama. ” Emangnya ia pengen kalau kaya gitu kan modalnya gede bu. Ini namanya orang susah sudah bisa beli beras saja sudah alhamdulilah. Ya kalau ada tempatnya sivh ingin,kalau engga ada gimana,saya cuma ya orang kecil ya engga bisa beli tempat yang mahal-mahal. Ya maksudnya yang ya, kalau ditempat yang didalem kan mahal-mahal kalau disini kan cuma sedikt-sedikit uang iurannya.maksdunya kasih-kasihnya gitu ”.

Cerita senada juga datang dari Ibu Soeripto. Ibu yang sudah memulai kegiatan jualannya mulai jam 4 subuh merasakan sejak kehadiran pasar modern, pendapatannya semakin berkurang.

” Sangat terasa. Pasar modern lebih maju dan pasar tradisional merasa tersingkirkan. Sekarang orang lebih memilih ke supermarker – supermarket, pasar modern, pasar tradisional rasanya tertinggal.Ada, sangat – sangat berkurang, sangat terasa, sampai sekarang pun pasar tradisional sangat berkurang minat pembelinya. Pendapatan sangat minim, malu untuk mengatakannya. Minim sekali, sekarang jualan sepi ”

Kemajuan jaman harusnya memberikan dampak yang lebih baik terhadap seluruh lini sektor kehidupan, namun bagi para pedagang pasar, kemajuan jaman justru membuat mereka semakin sulit. Datangnya para pelaku pasar modern justru membuat mereka semakin terpinggirkan. Pedagang pasar tradisional justru terhimpit jaman. (Diu Oktora / 31 Maret 2009)

18 Maret 2009

Pasar Tradisional Diujung Tanduk

Pasar Tradisional. Apa yang terlintas di kepala kita soal pasar tradisional? Becek, semraut, kotor, dan tidak teratur.

Dulu kita hanya mengenal satu tempat yang menjual segala macam kebutuhan mulai dari sembako, pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai pasar tradisional. Seiring perubahan gaya hidup bermunculan pasar modern. Menurut para pelaku pasar modern, kehadiran mereka karena tuntutan dari konsumen.

Corporate Affairs Director Carrefour Indonesia, Irawan Kadarman mengungkapkan ”Pertama dari aspek konsumen, konsumen itu terutama di urban area itu kan memang ada perubahan perilaku, kalau ibu lihat sendiri sekarang banyak suami istri bekerja, mereka itu baru sampai rumah malam terus mereka hanya bisa berbelanja hanya akhir pekan, terus mereka menggunakan kesempatan berbelanja itu menjadi rekreasi keluarga, nah itu terus karena itu rekreasi keluarga mereka kan juga membutuhkan keamanan, kenyamanan,nah jadi ada perubahan perilaku konsumen,yang salah satunya menyebabkan ritel modern itu berkembang”

Ketua Harian Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia, Tutum juga mengungkapkan alasan yang sama ”Kita mulai berkembang dari pasar tradisional yang ada trus kita melihat perkembangan pusat-pusat perbelanjaan modern ada kita coba-coba masuk ternyata itu memang kebutuhan masyarakat ada disitu, jadi kita memberanikan diri masuk ke pasar modern ritel itu tersebut. Perubahan gaya hidup, tingkat kesibukan apapun kaitannya dengan kemudahan, kenyamanan, jumlah barang yang kita sajikan, saya rasa konsumen semata-mata lebih kearah situ kita mencoba mendekatkan dengan keinginan konsumen itu yang terpenting”

Pasar modern memang memberikan kenyamanan bagi konsumennya. Tempat belanja yang bersih, menggunakan pendingin ruangan, dan barang yang tertata rapi, ditambah lagi areal parkir yang luas dan aman. Berbeda dengan pasar tradisional. Fisik bangunan yang tidak terawat, becek dan sampah berserakan, menjadi bagian tidak terpisahkan//

Pesatnya perkembangan pasar modern secara perlahan menggerus keberadaan pasar tradisional. Berdasarkan catatan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia – APPSI dari 153 pasar tradisional yang ada di jakarta, sekitar 45 pasar terkena dampak keberadaan pasar modern.

Sekjen APPSI, Ngadiran mengungkapkan maraknya pasar modern justru mematikan pasar tradisional ”Dampak yang dialami oleh pedagang tradisional itu sendiri, pertama adalah dari omset yang turun, itu juga sangat dirasakan oleh para warung-warung dipemukiman. Karena yang menjadi rayap itu sebenarnya mini market-mini market apapun namanya, baik yang itu sifatnya dia mengglobal dengan sistem pola waralaba ataupun yang ada pada sekarang, itu yang menjadi rayap akan menggerogoti warung-warung kecil dimana warung kecil itu pelanggannya belanjanya ke pasar tradisional untuk dijual kembali, itu sebenarnya”.

Carrefour sebagai pemain pasar modern terbesar di Jakarta membantah sebagai penyebab tergusurnya keberadaan pasar modern. Sebab target konsumen pasar modern dan pasar tradisional berbeda. Pesatnya pertumbuhan pasar modern memang tidak bisa dihindari, sehingga harus ada mekanisme yang jelas untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional.

Untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional, sebenarnya pemerintah telah menerbitkan dua regulasi, yaitu Perpres no 112 / tahun 2007, tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Dan, Permendag no 53 / tahun 2008, tentang pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Gunaryo mengungkapkan ”Kebijakan pemerintah dibidang ritel itu sebenarnya yang kita lakukan adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan, keseimbangan antara ritel tradisional supaya dia juga dapat tetap tumbuh berkembang tapi juga tidak menghambat laju dari pada perkembangan ritel modern, tetapi juga disisi lain juga harus memperhatikan bagaimana memenuhi tuntutan konsumen, karna kita sama-sama tahu bahwa kemodernan itu tidak bisa kita hambat.Kita tidak bisa membiarkan persaingan itu hade to hade ya, antara tradisional dengan ini dibiarkan bersaing secara bebas itu, tidak seperti itu. Oleh karenanya didalam perpres dan permendak tadi itu juga diatur beberapa apa namanya rambu-rambu gitu lah si pasar ritel modern ini bolehnya di posisi mana, dilokasi yang seperti apa, dan yang terpenting sebenarnya yang mengunci yang melindungi yang sangat berpihak kepasar tradisional”.

Namun, bagi APPSI regulasi soal pasar, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, justru tidak berpihak kepada pasar tradisional ”Kita merasa keberatan karena ternyata dari hasil cek dan ricek kita itu ada beberapa perijinan yang diurus tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik yang zaman dahulu ada skb 3 mentri sampai dengan sekarang mengacau pada perpres 112 maupun adanya permendak no.53, satu sisi adanya beberapa acuan katakanlah ada perda – perda yang sudah lebih dahulu terbit itu juga sudah mengatur dengan baik sebenarnya tapi ternyata itu banyak yang dilanggar, hal itu sangat berdampak pada keberadaan para pedagang pasar tradisional maupun pewarung – pewarung yang ada di pemukiman – pemukiman”.

Keberadaan pasar tradisional di jakarta memang seperti diujung tanduk. Ancaman tidak hanya datang dari semakin banyaknya pasar modern, tapi juga dari pemerintah daerah. Terbukti pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung justru membuka gerbang kematian bagi para pedagang pasar tradisional. Pasar modern diberikan ijin untuk beroperasi di daerah yang strategis, bahkan berdampingan dengan pasar tradisional.

Belum lagi ancaman penggusuran, dengan dalih merenovasi pasar. Bukannya justru membantu tapi mencekik pedagang pasar tradisional karena harus membeli kios baru dengan harga yang lebih mahal.

Sekjen APPSI, ngadiran mengungkapkan diskriminasi yang terjadi terhadap para pedagang pasar tradisional ”Bukan kita itu anti adanya investor asing tetapi mestinya diatur sedemikian rupa ditempatkan disatu komunitas yang kataknlah baru dia harus membangun komunitas baru jangan duduk memposisikan dirinya ditempat yang memang yang strategis, karena tempat-tempat strategis itu yang membangun gotwill adalah pedagang-pedagang pasar tradisional setelah good willnya ngangkat naik harganya tinggi kemudian tiba-tiba dating saja dengan dalih investor, akhirnya mati pula itu pedagang pasar tradisional. Sekarang ada satu aturan dipemerintah daerah, pasar dibangun setelah dibangun pedagang harus membayar sejumlah uang, dengan jangka pakai 20 tahun ini sebenarnya menjolimi pedagang tradisional. Kalau memang sewa kenapa harus membayar sewa 20 tahun? Kalau uang kita tidak ada mendapatkan kredit dari salah satu bank dengan suku bunga berapa? Berapa yang harus kita bayar? Kalau emang pemerintah membangun untuk disewakan, sewakan saja kepada pedagang mungkin bayar sewanya pertahun, mungkin bayar sewanya perbulan, bisa saja bayar sewanya perhari tidak sekarang dibayar dimuka 20 tahun ini adalah suatu perilaku atau satu kebijakan yang salah ini tidak akan membuat pedagang kita mampu bersaing tetapi semakin terpuruk”.

Salah satu pasar modern yang keberadaannya berdekatan dengan pasar tradisional adalah Carrefour. Sebagai salah satu contoh, Carrefour di kawasan Cileduk – Tangerang letaknya berhadap – hadapan dengan Pasar Tradisional Saraswati. Namun, pihak Carrefour membantah, mereka tetap tidak melanggar peraturan yang ada, karena mereka telah mengantongi ijin operasi dari pemerintah daerah ”Bahwa kalau gerai kami beroperasi artinya kami sudah mengantongi perizinan yang disyaratkan, kedua kembali lagi bahwa konsumen itu berbeda bu, konsumen itu beberbeda contoh bagaimana ada ritel modern baik kita pesaing kita berdekatan dengan pasar tradisional dua-duanya bisa tumbuh kembang, dua-duanya bisa mengakomodir konsumenya masing-masing. Kita ambil contoh kalau di luar kota bisa kita ambil yogya kita disitu menjadi penyewa disebuah mal, di belakangnya pasar tradisional, kita tumbuh kembang, mereka tumbuh kembang, ciledug juga demikian, waktu kita mau buka sedikit keriak-riak tapi sekarang kita buka hampir 2 tahun kita tumbuh kembang tempat mereka tetap saja penuh sesak gitu”.

Pemerintah pusat sebenarnya sudah mengalokasikan dana lebih dari Rp 200 Miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN untuk melakukan perbaikan terhadap pasar tradisional. Namun, kesenjangan tetap terjadi antara pasar modern dan pasar tradisional. Pasar modern bisa beroperasi ditempat yang strategis sementara pedagang pasar tradisional harus berjualan dipinggir jalan raya atau pinngiran rel kerata api dengan membayar sewa yang mahal dan resiko tertabrak kendaraan atau kereta api.

Perbaikan terhadap pasar tradisional seharusnya sudah dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, sehingga pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar modern. Namun kini, semakin hari pasar tradisional justru semakin tergerus. Kekhawatiran muncul sepuluh tahun kedepan pasar tradisional tidak akan ada lagi.

17 Maret 2009

Journey Of Imlek

Tahun baru selalu menjadi momen penting untuk dirayakan oleh semua orang, begitu pula dengan pergantian tahun bagi masyarakat keturunan tionghoa. Dalam tradisi masyarakat tionghoa, pergantian tahun biasa disebut dengan Sinchia, atau yang lebih terkenal dengan Imlek.

Sesungguhya perayaan imlek berawal dari pesta menyambut datangnya musim semi. Bagi masyarakat tionghoa purbakala, musim semi mengandung makna/ pergantian tahun. Musim semi menjadi simbol kembalinya alam semesta yang mati suri selama musim dingin yang gelap dan suram. Oleh karena itu, kehadiran musim semi selalu disambut meriah, dan kemudian menjadi cikal - bakal perayaan tahun baru imlek.

Kemeriahan menyambut Sinchia, dapat dirasakan dikawasan pecinan dan tempat peribatan warga keturunan tionghoa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan klenteng.

Seminggu sebelum tahun baru Imlek pada 26 Januari lalu, gue sempat mengunjungi beberapa kawasan pecinan di Jakarta, Tangerang dan Depok. Di Kawasan Glodok, Jakarta Barat, warna merah pernak pernik imlek, mulai dari kue – dodol – lampion – bunga meihua ramai dijual di pasar yang berada di kawasan pecinan terbesar di jakarta itu. Di Klenteng Petak Sembilan, juga berhias. Meja altar dirapihkan, lilin persembahan dengan berbagai ukuran ditata, patung dewa – dewa dibersihkan.

Gue juga sempat mengunjungi klenteng tertua di Tangerang, Banten – Boen Tek Bio. Di klenteng yang berlokasi ditengah – tengah Pasar Lama Tangerang ini pun berbenah, lilin – lilin persembahan dinyalakan, sumbangan dari umat dikumpulkan untuk nantinya dibagikan kepada fakir miskin.

Ternyata, bagi masyarakat keturunan Tionghoa, Imlek memiliki arti yang berbeda, terutama bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang memeluk agama Konghuchu. Bagi masyarakat keturunan tionghoa umumnya, Imlek atau sincia adalah tradisi yang dilakukan untuk menghormati nenek moyang. Sementara bagi Umat Tionghoa, Imlek bukan sekedar tradisi tapi merupakan bagian dari ajaran agama Konghuchu.

Gue sempat mengunjungi Litang Cimanggis, di Depok. Litang yang berarti Gerbang Kebajikan adalah tempat peribadatan khusus agama konghucu. Di Litang Cimanggis gue sempat bertemu dengan Ketua Litang Cimanggis, Bapak Mulyadi.

Pak Mul menjelaskan, Klenteng adalah tempat ibadah umunya bagi masyarakat tionghoa yang beragama budha, tao dan konghucu. Jadi klenteng adalah tempat ibadah secara umum. Di klenteng ada berbagai macam dewa dewi sebagai penghormatan kepada orang – orang suci yang telah berjasa bagi kemanusiaan. Sementara Litang atau kum miau hanya mengenal satu yaitu konghucu, sebagai nabi yang dikenal dalam agama konghucu. Perbedaan kedua, di Litang diberikan siraman rohani atau ajaran agama oleh para rohaniawan.

Penetapan tahun baru imlek dilakukan berdasarkan hari kelahiran Kongzi atau Khongcu, yaitu nabi terakhir dalam agama Konghuchu. Konghucu lahir pada tahun 551 SM, oleh karena itu Imlek memiliki makna keagamaan atau ritual bagi umat Konghuchu.

Waktu gue berkunjung ke Litang Cimanggis, ada sedikit pemandangan berbeda disana. Ternyata pemeluk agama Konghucu tidak hanya berasal dari masyarakat keturunan tionghoa. Ada juga masyarakat keturunan non tionghoa yang menjadi Konghucu.

Di Litang Cimanggis, gue ketemu dengan Mak’ Kamah, dia adalah orang betawi asli. Dan, Yus Rumbery, keturunan Papua asli. Mak’ Kamah dan Yus Rumbery sekarang adalah penganut Konghucu. Mak’ Kamah jadi Konghucu karena menikah dengan lelaki keturunan Tionghoa, sementara Yus Rumbery mengaku menjadi Konghucu karena panggilan jiwa. (By Diu Oktora / 4 Februari 2009)

04 Maret 2009

Dimana Rasa Empati Itu?

Empati apa sih sebenarnya arti kata itu? Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata " Empati " mengandung arti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Kalau boleh mengartikan sendiri, empati itu menurut gue adalah diri kita mencoba memposisikan sebagai orang lain atau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tapi pastinya orang yang memang dalam kondisi perlu dibantu, atau layak untuk diberikan bantuan.

Empati tidak memandang gender, pria dan perempuan. Empati tidak memandang usia, tua - muda dan remaja. Empati tidak memandang derajat, kaya dan miskin. Empati tidak memandang status pendidikan, SD - SMP - SMA - Sarjana - Doktor - dll. Empati tidak memandang jabaatan, Direktur - karyawan - office boy - pengangguran - dll. Empati bebas diberikan kepada siapapun dan kapan pun.

Ada sedikit pengalaman menarik yang gue alamin waktu pulang naik bis semalam (3/3/09). Seperti biasa gue naik bis ke arah Cileduk dari Karet Kolong Sudirman. Bis yang mau gue naikin sedang 'ngetem' menunggu penumpang yang akan naik. Bis dalam keadan kosong, hanya sekitar 20 kursi penumpang yang terisi. Gue pun bebas mencari tempat duduk, pilihan gue jatuhkan pada kursi terdepan. Selang 5 menit gue duduk, bis pun mulai jalan dengan perlahan sambil mencari penumpang lain.

Alat penyejuk dalam bis membuat udara terasa dingin, dan mengundang mata untuk mengantuk. Ditengah - tengah kantuk yang sedang gue nikmatin, tiba - tiba terdengar suara yang sangat tidak merdu "bapak - bapak, ibu - ibu, oper ke bis belakang ya, kita mau puter balik lagi". Alasan memindahkan penumpang adalah karena quota kursi tidak terpenuhi. Dengan berebut dan pastinya sambil ngedumel marah - marah, para penumpang turun dan pindah ke bis belakang, dengan harapan kembali mendapatkan kursi kosong.

Tapi, ternyata kursi di bis belakang sudah penuh, penumpang pindahan pun terpaksa banyak yang harus berdiri, termasuk gue tentunya. Salah satu penumpang yang berdiri adalah seorang ibu hamil. Gue rasa dia sedang hamil sekitar 7 atau 8 bulan, karena perutnya sudah besar. Ibu itu berdiri dekat kursi dua bagian terdepan, dekat pintu.

Penumpang yang berdiri cukup banyak, sehingga membuat ibu hamil tersebut agak susah untuk berdiri dengan posisi yang nyaman. Karena dengan perut yang cukup besar dan berdesak - desakan dengan penumpang lain, pastinya ibu hamil itu sangat tidak nyaman. Dan gilanya (sebenarnya gue mau pake kata "dan sadisnya") penumpang yang lain cuek aja, tidak ada yang peduli, tidak ada satu pun yang memberikan kursinya untuk diduduki si ibu hamil. Terutama keduan orang penumpang yang duduk di kursi terdepan itu, tepat di depan ibu yang sedang hamil. Dua orang penumpang yang duduk di kursi terdepan itu, satu orang gadis muda, dan satu orang lagi bapak - bapak.

Gue tahu, orang hamil itu tidak minta dikasihani, orang hamil itu bukan orang cacat yang harus diberikan tempat atau fasilits khusus. Dengan kondisi perut yang besar, dan pastinya berat, berdiri berdesakan tanpa bisa berpegangan untuk menyangga bebannya yang berat selama perjalanan yang memakan waktu cukup lama karena jalanan macet. Belum lagi supir bis yang suka - sukanya ngebut atau ngerem mendadak, membuat si ibu hamil benar - benar tidak nyaman, tega ga sih kita lihatnya? Kasihan ga sih kita lihat ibu itu?

Gue aja yang sekarang sedang tidak hamil merasa cape dan pusing karena berdiri terlalu lama. Apalagi ibu hamil itu, pasti dia berasa cape banget. Terbukti, alat penyejuk di bis tidak bisa menghentikan keringat si ibu yang terus menetes. Gue sebel aja ternyata tidak satu pun para penumpang yang rela berdiri, bertukar tempat duduk dengan si ibu hamil.

Ok lah, buat penumpang yang laki - laki, khususnya buat bapak yang duduk di kursi terdepan dekat si ibu hamil berdiri, cuek aja, ga perduli, karena memang tidak hamil, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ibu hamil itu. Tapi coba bayangin, kalo ibu hamil itu adalah anak perempuan kalian, istri kalian, kakak atau adik perempuan kalian. Untuk para penumpang yang perempuan, terutama buat gadis yang duduk di kursi terdepan dekat si ibu hamil berdiri, kok bisa ya kalian ga peduli? Kok bisa ya kalian cuek aja? Bayangin ga kalau si ibu hamil itu adalah kalian? Dan, kalian berada di posisi yang sama dengan si ibu hamil itu sekarang?

Dan, yang lebih menyebalkan dari itu semua adalah gue dimarah - marahin sama penumpang lainnya. Kebetulan penumpang yang duduk dekat gue berdiri mau turun, otomatis kursinya kosong, penumpang yang berdiri di belakang gue mau langsung duduk dikursi itu, tapi gue halangin. Gue panggil tuh ibu hamil, gue suruh duduk di kursi yang baru ditinggalin penumpang lain. Tahu - tahunya dari belakang ada suara yang buat telinga gue mau pecah " eh mbak, kenapa sih kursi itu dikasih ke orang lain, saya kan cape dari tadi berdiri terus. Gimana sih ". Dan tahu tidak, yang ngomong seperti itu ternyata seorang ibu - ibu juga ... Ya ampunnn.

Melihat dan megalami itu semua, gue kemudian bertanya, dimana rasa empati itu? Ada tidak rasa empati itu? Hilang kemana rasa empati itu? Gue tahu, kita harus menolong - membantu diri sendiri dulu, baru menolong - membantu orang lain. Tapi, situasi itukan bisa saja terbalik, dalam kondisi tertentu yang mungkin dalam situasi tidak menyenangkan - tidak nyaman, kita harus menolong - membantu orang lain terlebih dahulu, baru diri kita.

Apa karena berempati itu tidak dibayar? Atau apa karena berempati itu mahal harganya? Makanya berempati itu sangat susah untuk dilakukan??? (Diu Oktora / 4 Maret 2009)

02 Februari 2009

2009, Siapa yang akan di eksekusi ??

Sepanjang tahun 2008 tercatat enam orang terpidana mati menjalani eksekusi. Ini mungkin eksekusi mati paling banyak sepanjang tahun, selama perjalanan hukuman eksekusi mati di Indonesia.

Eksekusi mati tahun 2008 diawali pada 26 Juni. Dua orang warga negara Nigeria, Samuel Iwachekew dan Hansen Anthony. Kedua warga negara asing ini terlibat kasus peredaran narkoba di Indonesia ini, ditahan di LP Pasir Putih – Nusakambangan, Cilacap – Jawa Tengah. Sebelum di eksekusi, Samuel dan Hansen terlibat kerusuhan di LP Pasir Putih.

Sebulan kemudian, 10 Juli, dilakukan eksekusi mati terhadap Ahmad Suraji alias Nasib Keleweng. Lelaki yang dikenal sebagai Dukun AS dieksekusi di sekitar kawasan perkebunan karet di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang – Sumatera Utara oleh tim eksekusi Brimob Polda Sumatera Utara. Ahmad Suradji divonis hukuman mati Pengadilan Negeri Deli Serdang pada 27 April 1997. Ia dinyatakan terbukti membunuh 42 wanita di perkebunan tebu Dusun Aman, Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang. Dukun AS kemudian mengajukan permohonan banding ditolak Pengadilan Tinggi Sumut pada 27 Juni 1998, demikian juga kasasi ke Mahkamah Agung ditolak pada 27 September 2000. MA kembali menolak PK Suradji pada 28 Mei 2003. Dan pada Januari 2008, Kejagung menerima penolakan grasi yang diajukan Dukun AS. Jenazah Dukun AS dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Keling Garuda, Dusun XV, Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut).

Seminggu setelah eksekusi Dukun AS, 18 Juli, eksekusi terhadap Usep atau Tubagus Yusuf Maulana dilakukan di kawasan hutan wilayah KEcamatan Cimarga, Kabupaten Lebak – Banten. Usep dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana hingga membuat delapan warga tewas. Para korban datang ke rumah Usep untuk mencari kekayaan dari ”Bank Ghaib”. Lima korban tewas setelah diberi ramuan racun dan dikubur pada 17 Mei 2007. Adapun tiga korban lain dibunuh pada 19 Juli 2007 dan dikubur di lokasi berbeda. Dalam menjalankan praktiknya, dukun Usep dibantu Sobirin alias Oyon yang bertugas mencari dan mengantar pasien. Oyon divonis mati hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung, 12 Maret 2008, dan tengah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Eksekusi mati terhadap Usep merupakan yang tercepat dalam sejarah eksekusi terpidana mati di Indonesia. Usep dieksekusi empat bulan setelah divonis mati oleh Pengadilan Negeri Rangkasbitung, vonis dijatuhka hakim pada 10 Maret 2008.

Sehari kemudian, 19 Juli, giliran terpidana mati Sugeng dan Sumiarsih yang menjalani eksekusi mati. Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati kasus pembunuhan Letkol (Mar) Poerwanto, istri dan dua anak mereka, serta seorang keponakannya pada 13 Agustus 1988. Eksekusi mati terhadap ibu & anak ini berlangsung setelah mereka mendekam di penjara selama 20 tahun. Jenazah Sumiarsih (60) dan Sugeng (44), Sabtu (19/7) dini hari, akhirnya dimakamkan di TPU Sama'an, Malang. Keduanya dimakamkan berdampingan di blok C2.
8 Agustus 2008, giliran Rio Alex Bullo di eksekusi. Lelaki yang mendapat julukan Rio Martil divonis mati Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto karena melakukan pembunuhan sadis terhadap seorang pengacara terkenal sekaligus pemilik persewaan mobil di Purwokerto, Jeje Suraji di Hotel Rosenda Baturaden, 21 Januari 2001.

Selama 1997-2001, terpidana telah membunuh sedikitnya empat orang pemilik atau pengelola rental mobil. Pembunuhan itu merupakan cara terpidana untuk membawa lari mobil yang disewa dari para pemilik atau pengelola rental tersebut.

Setiap melancarkan aksinya, terpidana selalu menyiapkan dua buah martil untuk memukul kepala korbannya. Karena itu pula, terpidana diberi julukan Rio Si Martil Maut. Namun, selama mendekam di LP Nusakambangan, terpidana juga pernah membunuh teman satu penjaranya, Iwan Zulkarnaen.

Pelaksanaan eksekusi mati tahun2008 tampaknya tidak berakhir di Rio Martil. Dipenghujung tahun 2008, eksekusi mati yang paling ditunggu - tunggu akhirnya dilakukan juga. Eksekusi mati yang menjadi “Top nya Eksekusi Mati” yaitu eksekusi terhadap Trio pelaku Bom Bali 1, pada Oktober 2002, Yaitu Imam Samudra – Ali Imron – Amrozi.

Ketiga terpidana mati yang mendekam di LP Nusa Kambangan – Cilacap, Jawa Tengah, akhirnya dilakukan pada 9 November 2008, sekitar pukul 00.15 WIB. Eksekusi dilakukan di Bukit Nirbaya, yang berada tidak jauh dari LP Nusa Kambangan.

Siapa yang akan menyusul dieksekusi mati pada 2009?? Kita akan segera tahu, karena menurut data Kejaksaan Agung masih ada sekitar 92 terpidana mati yang menunggu untuk di eksekusi. (Diu Oktora / 02 Februari 2009)