31 Maret 2009

Pedagang Pasar Terhimpi Jaman

Kemajuan jaman ternyata merubah gaya hidup manusia, termasuk juga dalam urusan gaya belanja. Dulu orang hanya mengenal pasar tradisional sebagai tempat satu – satunya yang menjual segala macam kebutuhan hidup mulai dari sembako – pakaian – dan peralatan rumah tangga lainnya. Kini, seiring tuntuan perubahan gaya belanja konsumen bermunculan apa yang namanya pasar modern.

Kehadiran pasar modern ternyata memberikan dampak yang sangat besar terhadap keberadaan pasar tradisional di Jakarta, yang akhirnya berdampak juga terhadap para pedagang.

Program Mata Rantai – Antv mencoba memotret dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional. Untuk melihat dampaknya secara langsung, gue mendatangi beberapa pasar tradisional yang berada disejumlah kawasan di Jakarta.

Salah satu pasar tradisional yang mencoba berdiri kokoh ditengah maraknya keberadaan pasar modern adalah Pasar Kramat Jati, di kawasan Jakarta Timur. Menjelang tengah malam, para pedagang Pasar Kramat Jati mulai menggelar lapak – lapak tempat mereka berjualan. Sontak, pinggiran jalan Kramat Jati disesaki oleh para pedagang. Jalan raya yang umumnya lenggang pada tengah malam, tidak berlaku di kawasan jalan Kramat Jati. Di jalan ini justru kemacetan teramat sangat yang terjadi. Suara klakson saling saut – sautan menjadi melodi yang terdengar.

Salah seorang pedagang yang gue temui, Pak Mislan. Sudah 30 tahun bapak 6 orang anak ini berjualan di pinggir jalan Kramat Jati. Sebenarnya Pak Mislan tidak ingin berjualan di pinggir jalan, karena resiko tertabrak kendaraan bisa saja dialami. Namun, harapan untuk memiliki kios ditempat yang lebih baik, lebih aman atau di dalam pasar terpaksa dikubur dalam – dalam.

” Ya..mau pindah, ya ga ini, tapi ga punya modal, sebenarnya mau pindah pasar lain, tapi ga punya modal.Ya..kata orang-orang itu yang ini mahal pasar itu ” keluh Pak Mislan.

Kesulitan yang dirasa Pak Mislan semakin bertambah sejak hadirnya pasar modern. Di Pasar Kramat Jati, tempat dimana Pak Mislan biasa berjualan tiap hari berdiri kokoh salah satu pasar tradisional terbesar di Indonesia. Dampaknya pendapatan Pak Mislan menurun.

”Saya jualan dari tengah malam sampe pagi, pengahasilan yang didapat ga pernah cukup. Dulu bersih bisa dapat 500 ribu sehari, sekarang bisa dapat 200 ribu sehari aja udah sukur. Yang beli makin kurang, mungkin males ke pasar tengah malam atau pagi. Mending datang ke sebelah siang – siang aja”.

Bergeser ke Pasar Kebayoran Lama, di Jakarta Selatan. Gue sempat ngobrol – ngobrol dengan 2 orang ibu – ibu yang tiap hari berjualan di pinggir jalan raya Pasar Kebayoran Lama, Ibu Haryanti & Ibu Tarwati. Keluhan yang sama juga terlontar dari kedua ibu – ibu tersebut.

Ibu Haryanti dan Ibu Tarwati terpaksa harus berjualan ditempat yang tidak layak, misalnya di pinngiran jalan raya. Mereka sesungguhnya menginginkan pidah ke tempat yang lebih layak, namun harga tempat baru yang mahal membuat mereka memilih bertahan ditempat yang lama

” Keinginannya ya mah ya jualan habis banyak,untungnya gede ya ingin,tapi dapetnya segini ya terima aja bu. Sudah ini lah mba, sudah ngga ada tempatnya. Dapet tempat kaya gini sudah alhamdulilah, terimakasih kaya gini sudah dapet tempat jualan saja terima kasih banyak bu ” Tutur Ibu Haryanti.

Mengamini ucapan Ibu Haryanti, Ibu Tarwati pun mengungkapkan keluhan yang sama. ” Emangnya ia pengen kalau kaya gitu kan modalnya gede bu. Ini namanya orang susah sudah bisa beli beras saja sudah alhamdulilah. Ya kalau ada tempatnya sivh ingin,kalau engga ada gimana,saya cuma ya orang kecil ya engga bisa beli tempat yang mahal-mahal. Ya maksudnya yang ya, kalau ditempat yang didalem kan mahal-mahal kalau disini kan cuma sedikt-sedikit uang iurannya.maksdunya kasih-kasihnya gitu ”.

Cerita senada juga datang dari Ibu Soeripto. Ibu yang sudah memulai kegiatan jualannya mulai jam 4 subuh merasakan sejak kehadiran pasar modern, pendapatannya semakin berkurang.

” Sangat terasa. Pasar modern lebih maju dan pasar tradisional merasa tersingkirkan. Sekarang orang lebih memilih ke supermarker – supermarket, pasar modern, pasar tradisional rasanya tertinggal.Ada, sangat – sangat berkurang, sangat terasa, sampai sekarang pun pasar tradisional sangat berkurang minat pembelinya. Pendapatan sangat minim, malu untuk mengatakannya. Minim sekali, sekarang jualan sepi ”

Kemajuan jaman harusnya memberikan dampak yang lebih baik terhadap seluruh lini sektor kehidupan, namun bagi para pedagang pasar, kemajuan jaman justru membuat mereka semakin sulit. Datangnya para pelaku pasar modern justru membuat mereka semakin terpinggirkan. Pedagang pasar tradisional justru terhimpit jaman. (Diu Oktora / 31 Maret 2009)

18 Maret 2009

Pasar Tradisional Diujung Tanduk

Pasar Tradisional. Apa yang terlintas di kepala kita soal pasar tradisional? Becek, semraut, kotor, dan tidak teratur.

Dulu kita hanya mengenal satu tempat yang menjual segala macam kebutuhan mulai dari sembako, pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai pasar tradisional. Seiring perubahan gaya hidup bermunculan pasar modern. Menurut para pelaku pasar modern, kehadiran mereka karena tuntutan dari konsumen.

Corporate Affairs Director Carrefour Indonesia, Irawan Kadarman mengungkapkan ”Pertama dari aspek konsumen, konsumen itu terutama di urban area itu kan memang ada perubahan perilaku, kalau ibu lihat sendiri sekarang banyak suami istri bekerja, mereka itu baru sampai rumah malam terus mereka hanya bisa berbelanja hanya akhir pekan, terus mereka menggunakan kesempatan berbelanja itu menjadi rekreasi keluarga, nah itu terus karena itu rekreasi keluarga mereka kan juga membutuhkan keamanan, kenyamanan,nah jadi ada perubahan perilaku konsumen,yang salah satunya menyebabkan ritel modern itu berkembang”

Ketua Harian Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia, Tutum juga mengungkapkan alasan yang sama ”Kita mulai berkembang dari pasar tradisional yang ada trus kita melihat perkembangan pusat-pusat perbelanjaan modern ada kita coba-coba masuk ternyata itu memang kebutuhan masyarakat ada disitu, jadi kita memberanikan diri masuk ke pasar modern ritel itu tersebut. Perubahan gaya hidup, tingkat kesibukan apapun kaitannya dengan kemudahan, kenyamanan, jumlah barang yang kita sajikan, saya rasa konsumen semata-mata lebih kearah situ kita mencoba mendekatkan dengan keinginan konsumen itu yang terpenting”

Pasar modern memang memberikan kenyamanan bagi konsumennya. Tempat belanja yang bersih, menggunakan pendingin ruangan, dan barang yang tertata rapi, ditambah lagi areal parkir yang luas dan aman. Berbeda dengan pasar tradisional. Fisik bangunan yang tidak terawat, becek dan sampah berserakan, menjadi bagian tidak terpisahkan//

Pesatnya perkembangan pasar modern secara perlahan menggerus keberadaan pasar tradisional. Berdasarkan catatan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia – APPSI dari 153 pasar tradisional yang ada di jakarta, sekitar 45 pasar terkena dampak keberadaan pasar modern.

Sekjen APPSI, Ngadiran mengungkapkan maraknya pasar modern justru mematikan pasar tradisional ”Dampak yang dialami oleh pedagang tradisional itu sendiri, pertama adalah dari omset yang turun, itu juga sangat dirasakan oleh para warung-warung dipemukiman. Karena yang menjadi rayap itu sebenarnya mini market-mini market apapun namanya, baik yang itu sifatnya dia mengglobal dengan sistem pola waralaba ataupun yang ada pada sekarang, itu yang menjadi rayap akan menggerogoti warung-warung kecil dimana warung kecil itu pelanggannya belanjanya ke pasar tradisional untuk dijual kembali, itu sebenarnya”.

Carrefour sebagai pemain pasar modern terbesar di Jakarta membantah sebagai penyebab tergusurnya keberadaan pasar modern. Sebab target konsumen pasar modern dan pasar tradisional berbeda. Pesatnya pertumbuhan pasar modern memang tidak bisa dihindari, sehingga harus ada mekanisme yang jelas untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional.

Untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional, sebenarnya pemerintah telah menerbitkan dua regulasi, yaitu Perpres no 112 / tahun 2007, tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Dan, Permendag no 53 / tahun 2008, tentang pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Gunaryo mengungkapkan ”Kebijakan pemerintah dibidang ritel itu sebenarnya yang kita lakukan adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan, keseimbangan antara ritel tradisional supaya dia juga dapat tetap tumbuh berkembang tapi juga tidak menghambat laju dari pada perkembangan ritel modern, tetapi juga disisi lain juga harus memperhatikan bagaimana memenuhi tuntutan konsumen, karna kita sama-sama tahu bahwa kemodernan itu tidak bisa kita hambat.Kita tidak bisa membiarkan persaingan itu hade to hade ya, antara tradisional dengan ini dibiarkan bersaing secara bebas itu, tidak seperti itu. Oleh karenanya didalam perpres dan permendak tadi itu juga diatur beberapa apa namanya rambu-rambu gitu lah si pasar ritel modern ini bolehnya di posisi mana, dilokasi yang seperti apa, dan yang terpenting sebenarnya yang mengunci yang melindungi yang sangat berpihak kepasar tradisional”.

Namun, bagi APPSI regulasi soal pasar, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, justru tidak berpihak kepada pasar tradisional ”Kita merasa keberatan karena ternyata dari hasil cek dan ricek kita itu ada beberapa perijinan yang diurus tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik yang zaman dahulu ada skb 3 mentri sampai dengan sekarang mengacau pada perpres 112 maupun adanya permendak no.53, satu sisi adanya beberapa acuan katakanlah ada perda – perda yang sudah lebih dahulu terbit itu juga sudah mengatur dengan baik sebenarnya tapi ternyata itu banyak yang dilanggar, hal itu sangat berdampak pada keberadaan para pedagang pasar tradisional maupun pewarung – pewarung yang ada di pemukiman – pemukiman”.

Keberadaan pasar tradisional di jakarta memang seperti diujung tanduk. Ancaman tidak hanya datang dari semakin banyaknya pasar modern, tapi juga dari pemerintah daerah. Terbukti pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung justru membuka gerbang kematian bagi para pedagang pasar tradisional. Pasar modern diberikan ijin untuk beroperasi di daerah yang strategis, bahkan berdampingan dengan pasar tradisional.

Belum lagi ancaman penggusuran, dengan dalih merenovasi pasar. Bukannya justru membantu tapi mencekik pedagang pasar tradisional karena harus membeli kios baru dengan harga yang lebih mahal.

Sekjen APPSI, ngadiran mengungkapkan diskriminasi yang terjadi terhadap para pedagang pasar tradisional ”Bukan kita itu anti adanya investor asing tetapi mestinya diatur sedemikian rupa ditempatkan disatu komunitas yang kataknlah baru dia harus membangun komunitas baru jangan duduk memposisikan dirinya ditempat yang memang yang strategis, karena tempat-tempat strategis itu yang membangun gotwill adalah pedagang-pedagang pasar tradisional setelah good willnya ngangkat naik harganya tinggi kemudian tiba-tiba dating saja dengan dalih investor, akhirnya mati pula itu pedagang pasar tradisional. Sekarang ada satu aturan dipemerintah daerah, pasar dibangun setelah dibangun pedagang harus membayar sejumlah uang, dengan jangka pakai 20 tahun ini sebenarnya menjolimi pedagang tradisional. Kalau memang sewa kenapa harus membayar sewa 20 tahun? Kalau uang kita tidak ada mendapatkan kredit dari salah satu bank dengan suku bunga berapa? Berapa yang harus kita bayar? Kalau emang pemerintah membangun untuk disewakan, sewakan saja kepada pedagang mungkin bayar sewanya pertahun, mungkin bayar sewanya perbulan, bisa saja bayar sewanya perhari tidak sekarang dibayar dimuka 20 tahun ini adalah suatu perilaku atau satu kebijakan yang salah ini tidak akan membuat pedagang kita mampu bersaing tetapi semakin terpuruk”.

Salah satu pasar modern yang keberadaannya berdekatan dengan pasar tradisional adalah Carrefour. Sebagai salah satu contoh, Carrefour di kawasan Cileduk – Tangerang letaknya berhadap – hadapan dengan Pasar Tradisional Saraswati. Namun, pihak Carrefour membantah, mereka tetap tidak melanggar peraturan yang ada, karena mereka telah mengantongi ijin operasi dari pemerintah daerah ”Bahwa kalau gerai kami beroperasi artinya kami sudah mengantongi perizinan yang disyaratkan, kedua kembali lagi bahwa konsumen itu berbeda bu, konsumen itu beberbeda contoh bagaimana ada ritel modern baik kita pesaing kita berdekatan dengan pasar tradisional dua-duanya bisa tumbuh kembang, dua-duanya bisa mengakomodir konsumenya masing-masing. Kita ambil contoh kalau di luar kota bisa kita ambil yogya kita disitu menjadi penyewa disebuah mal, di belakangnya pasar tradisional, kita tumbuh kembang, mereka tumbuh kembang, ciledug juga demikian, waktu kita mau buka sedikit keriak-riak tapi sekarang kita buka hampir 2 tahun kita tumbuh kembang tempat mereka tetap saja penuh sesak gitu”.

Pemerintah pusat sebenarnya sudah mengalokasikan dana lebih dari Rp 200 Miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN untuk melakukan perbaikan terhadap pasar tradisional. Namun, kesenjangan tetap terjadi antara pasar modern dan pasar tradisional. Pasar modern bisa beroperasi ditempat yang strategis sementara pedagang pasar tradisional harus berjualan dipinggir jalan raya atau pinngiran rel kerata api dengan membayar sewa yang mahal dan resiko tertabrak kendaraan atau kereta api.

Perbaikan terhadap pasar tradisional seharusnya sudah dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, sehingga pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar modern. Namun kini, semakin hari pasar tradisional justru semakin tergerus. Kekhawatiran muncul sepuluh tahun kedepan pasar tradisional tidak akan ada lagi.

17 Maret 2009

Journey Of Imlek

Tahun baru selalu menjadi momen penting untuk dirayakan oleh semua orang, begitu pula dengan pergantian tahun bagi masyarakat keturunan tionghoa. Dalam tradisi masyarakat tionghoa, pergantian tahun biasa disebut dengan Sinchia, atau yang lebih terkenal dengan Imlek.

Sesungguhya perayaan imlek berawal dari pesta menyambut datangnya musim semi. Bagi masyarakat tionghoa purbakala, musim semi mengandung makna/ pergantian tahun. Musim semi menjadi simbol kembalinya alam semesta yang mati suri selama musim dingin yang gelap dan suram. Oleh karena itu, kehadiran musim semi selalu disambut meriah, dan kemudian menjadi cikal - bakal perayaan tahun baru imlek.

Kemeriahan menyambut Sinchia, dapat dirasakan dikawasan pecinan dan tempat peribatan warga keturunan tionghoa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan klenteng.

Seminggu sebelum tahun baru Imlek pada 26 Januari lalu, gue sempat mengunjungi beberapa kawasan pecinan di Jakarta, Tangerang dan Depok. Di Kawasan Glodok, Jakarta Barat, warna merah pernak pernik imlek, mulai dari kue – dodol – lampion – bunga meihua ramai dijual di pasar yang berada di kawasan pecinan terbesar di jakarta itu. Di Klenteng Petak Sembilan, juga berhias. Meja altar dirapihkan, lilin persembahan dengan berbagai ukuran ditata, patung dewa – dewa dibersihkan.

Gue juga sempat mengunjungi klenteng tertua di Tangerang, Banten – Boen Tek Bio. Di klenteng yang berlokasi ditengah – tengah Pasar Lama Tangerang ini pun berbenah, lilin – lilin persembahan dinyalakan, sumbangan dari umat dikumpulkan untuk nantinya dibagikan kepada fakir miskin.

Ternyata, bagi masyarakat keturunan Tionghoa, Imlek memiliki arti yang berbeda, terutama bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang memeluk agama Konghuchu. Bagi masyarakat keturunan tionghoa umumnya, Imlek atau sincia adalah tradisi yang dilakukan untuk menghormati nenek moyang. Sementara bagi Umat Tionghoa, Imlek bukan sekedar tradisi tapi merupakan bagian dari ajaran agama Konghuchu.

Gue sempat mengunjungi Litang Cimanggis, di Depok. Litang yang berarti Gerbang Kebajikan adalah tempat peribadatan khusus agama konghucu. Di Litang Cimanggis gue sempat bertemu dengan Ketua Litang Cimanggis, Bapak Mulyadi.

Pak Mul menjelaskan, Klenteng adalah tempat ibadah umunya bagi masyarakat tionghoa yang beragama budha, tao dan konghucu. Jadi klenteng adalah tempat ibadah secara umum. Di klenteng ada berbagai macam dewa dewi sebagai penghormatan kepada orang – orang suci yang telah berjasa bagi kemanusiaan. Sementara Litang atau kum miau hanya mengenal satu yaitu konghucu, sebagai nabi yang dikenal dalam agama konghucu. Perbedaan kedua, di Litang diberikan siraman rohani atau ajaran agama oleh para rohaniawan.

Penetapan tahun baru imlek dilakukan berdasarkan hari kelahiran Kongzi atau Khongcu, yaitu nabi terakhir dalam agama Konghuchu. Konghucu lahir pada tahun 551 SM, oleh karena itu Imlek memiliki makna keagamaan atau ritual bagi umat Konghuchu.

Waktu gue berkunjung ke Litang Cimanggis, ada sedikit pemandangan berbeda disana. Ternyata pemeluk agama Konghucu tidak hanya berasal dari masyarakat keturunan tionghoa. Ada juga masyarakat keturunan non tionghoa yang menjadi Konghucu.

Di Litang Cimanggis, gue ketemu dengan Mak’ Kamah, dia adalah orang betawi asli. Dan, Yus Rumbery, keturunan Papua asli. Mak’ Kamah dan Yus Rumbery sekarang adalah penganut Konghucu. Mak’ Kamah jadi Konghucu karena menikah dengan lelaki keturunan Tionghoa, sementara Yus Rumbery mengaku menjadi Konghucu karena panggilan jiwa. (By Diu Oktora / 4 Februari 2009)

04 Maret 2009

Dimana Rasa Empati Itu?

Empati apa sih sebenarnya arti kata itu? Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata " Empati " mengandung arti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Kalau boleh mengartikan sendiri, empati itu menurut gue adalah diri kita mencoba memposisikan sebagai orang lain atau merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, tapi pastinya orang yang memang dalam kondisi perlu dibantu, atau layak untuk diberikan bantuan.

Empati tidak memandang gender, pria dan perempuan. Empati tidak memandang usia, tua - muda dan remaja. Empati tidak memandang derajat, kaya dan miskin. Empati tidak memandang status pendidikan, SD - SMP - SMA - Sarjana - Doktor - dll. Empati tidak memandang jabaatan, Direktur - karyawan - office boy - pengangguran - dll. Empati bebas diberikan kepada siapapun dan kapan pun.

Ada sedikit pengalaman menarik yang gue alamin waktu pulang naik bis semalam (3/3/09). Seperti biasa gue naik bis ke arah Cileduk dari Karet Kolong Sudirman. Bis yang mau gue naikin sedang 'ngetem' menunggu penumpang yang akan naik. Bis dalam keadan kosong, hanya sekitar 20 kursi penumpang yang terisi. Gue pun bebas mencari tempat duduk, pilihan gue jatuhkan pada kursi terdepan. Selang 5 menit gue duduk, bis pun mulai jalan dengan perlahan sambil mencari penumpang lain.

Alat penyejuk dalam bis membuat udara terasa dingin, dan mengundang mata untuk mengantuk. Ditengah - tengah kantuk yang sedang gue nikmatin, tiba - tiba terdengar suara yang sangat tidak merdu "bapak - bapak, ibu - ibu, oper ke bis belakang ya, kita mau puter balik lagi". Alasan memindahkan penumpang adalah karena quota kursi tidak terpenuhi. Dengan berebut dan pastinya sambil ngedumel marah - marah, para penumpang turun dan pindah ke bis belakang, dengan harapan kembali mendapatkan kursi kosong.

Tapi, ternyata kursi di bis belakang sudah penuh, penumpang pindahan pun terpaksa banyak yang harus berdiri, termasuk gue tentunya. Salah satu penumpang yang berdiri adalah seorang ibu hamil. Gue rasa dia sedang hamil sekitar 7 atau 8 bulan, karena perutnya sudah besar. Ibu itu berdiri dekat kursi dua bagian terdepan, dekat pintu.

Penumpang yang berdiri cukup banyak, sehingga membuat ibu hamil tersebut agak susah untuk berdiri dengan posisi yang nyaman. Karena dengan perut yang cukup besar dan berdesak - desakan dengan penumpang lain, pastinya ibu hamil itu sangat tidak nyaman. Dan gilanya (sebenarnya gue mau pake kata "dan sadisnya") penumpang yang lain cuek aja, tidak ada yang peduli, tidak ada satu pun yang memberikan kursinya untuk diduduki si ibu hamil. Terutama keduan orang penumpang yang duduk di kursi terdepan itu, tepat di depan ibu yang sedang hamil. Dua orang penumpang yang duduk di kursi terdepan itu, satu orang gadis muda, dan satu orang lagi bapak - bapak.

Gue tahu, orang hamil itu tidak minta dikasihani, orang hamil itu bukan orang cacat yang harus diberikan tempat atau fasilits khusus. Dengan kondisi perut yang besar, dan pastinya berat, berdiri berdesakan tanpa bisa berpegangan untuk menyangga bebannya yang berat selama perjalanan yang memakan waktu cukup lama karena jalanan macet. Belum lagi supir bis yang suka - sukanya ngebut atau ngerem mendadak, membuat si ibu hamil benar - benar tidak nyaman, tega ga sih kita lihatnya? Kasihan ga sih kita lihat ibu itu?

Gue aja yang sekarang sedang tidak hamil merasa cape dan pusing karena berdiri terlalu lama. Apalagi ibu hamil itu, pasti dia berasa cape banget. Terbukti, alat penyejuk di bis tidak bisa menghentikan keringat si ibu yang terus menetes. Gue sebel aja ternyata tidak satu pun para penumpang yang rela berdiri, bertukar tempat duduk dengan si ibu hamil.

Ok lah, buat penumpang yang laki - laki, khususnya buat bapak yang duduk di kursi terdepan dekat si ibu hamil berdiri, cuek aja, ga perduli, karena memang tidak hamil, tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ibu hamil itu. Tapi coba bayangin, kalo ibu hamil itu adalah anak perempuan kalian, istri kalian, kakak atau adik perempuan kalian. Untuk para penumpang yang perempuan, terutama buat gadis yang duduk di kursi terdepan dekat si ibu hamil berdiri, kok bisa ya kalian ga peduli? Kok bisa ya kalian cuek aja? Bayangin ga kalau si ibu hamil itu adalah kalian? Dan, kalian berada di posisi yang sama dengan si ibu hamil itu sekarang?

Dan, yang lebih menyebalkan dari itu semua adalah gue dimarah - marahin sama penumpang lainnya. Kebetulan penumpang yang duduk dekat gue berdiri mau turun, otomatis kursinya kosong, penumpang yang berdiri di belakang gue mau langsung duduk dikursi itu, tapi gue halangin. Gue panggil tuh ibu hamil, gue suruh duduk di kursi yang baru ditinggalin penumpang lain. Tahu - tahunya dari belakang ada suara yang buat telinga gue mau pecah " eh mbak, kenapa sih kursi itu dikasih ke orang lain, saya kan cape dari tadi berdiri terus. Gimana sih ". Dan tahu tidak, yang ngomong seperti itu ternyata seorang ibu - ibu juga ... Ya ampunnn.

Melihat dan megalami itu semua, gue kemudian bertanya, dimana rasa empati itu? Ada tidak rasa empati itu? Hilang kemana rasa empati itu? Gue tahu, kita harus menolong - membantu diri sendiri dulu, baru menolong - membantu orang lain. Tapi, situasi itukan bisa saja terbalik, dalam kondisi tertentu yang mungkin dalam situasi tidak menyenangkan - tidak nyaman, kita harus menolong - membantu orang lain terlebih dahulu, baru diri kita.

Apa karena berempati itu tidak dibayar? Atau apa karena berempati itu mahal harganya? Makanya berempati itu sangat susah untuk dilakukan??? (Diu Oktora / 4 Maret 2009)