29 Agustus 2009

Amerika Ke Bulan, Indonesia Kemana?

Tulisan ini memang agak lama selesainya, soalnya rasa malas dan bosan plus hilang ide mengghingapi ku belakangan ini, sehingga akibatnya beberapa tulisan yang sudah setengah jalan terbengkalai, salah satunya tulisan soal pendaratan manusia ke bulan ini.

Menaklukkan angkasa luar merupakan program ambisius manusia. Bahkan, sejak jaman peradaban kuno angkasa luar sudah menarik bagi manusia. Di abad modern penelitian terhadap angkasa luar semakin menarik dan seru, bahkan dua negara besar Uni Soviet (kini namanya Rusia) dan Amerika Serikat saling berlomba untuk menunjukkan keungulan teknologi luar angkasa mereka.

Pada tahun 1957, Uni Soviet menunjukkan keungulannya dari musuh bebuyutanya, Amerika Serikat. Pada tahun itu, Uni Soviet dengan misi pesawat angkasa luarnya, Sputnik 1 berhasil mengorbitkan satelit di luar angkasa. Keunggulan Uni Soviet terus berlanjut, pada tahun 1961, kosmonot Uni soviet, Yuri Gagarin menjadi manusia pertama di dunia yang berhasil keluar angkasa.

Tidak mau kalah dari Uni Soviet, presiden ke 35 Amerika Serikat – Jhon F Kennedy, pada Mei 1961 di depan anggota Kongres menyampaikan impiannya untuk mendaratkan munusia pertama ke bulan. Dan, pada 20 Juli 1969 impian Jhon F Kennedy menjadi kenyataan. Dua orang astronot Amerika Serikat yang mengawaki Pesawat Appolo 11, Neil Amstrong dan Aldrin “Buzz” Gagarin menjadi manusia pertama di dunia yang menjejakkan kaki di bulan. Kesusksesan Amerika mendaratkan manusia ke bulan menjadi catatan sejarah bagi perkembangan penelitian teknologi Astronomi dunia.

Uni Soviet berhasil menerbangkan manusia pertama keluar angkasa. Amerika Serikat berhasil mendaratkan manusia pertama ke Bulan. Nah, bagaimana dengan Indonesia? Apa cita – cita penelitian antariksa Indonesia? Mengorbitkan satelit buatan sendiri dengan roket yang juga buatan senditi, itulah cita – cita penelitian luar angkasa Indonesia.

Kepala Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN, Bapak Sri Kaloka Prabotsari mengungkapkan Indonesia, khususnya LAPAN saat in mempunyai cita – cita untuk bisa mengorbitakan satelit dengan menggunakan peluncur roket Lapan sendiri. Untuk mewujudkan cita – cita tersebut langkah awal telah dilakukan dengan membuat roket RX 420. Diharapkan pada tahun 2014 Indonesia sudah bisa meluncurkan satelit dengan wahana peluncur buatan LAPAN.

Impian Indonesia memang tidak muluk – muluk. Untuk bisa mengirimkan manusia ke bulan tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Menurut Bapak Sri Kaloka, setiap Negara di dunia ini pasti ingin memperlihatkan bahwa mereka memiliki teknologi antariksa yang maju, nama untuk Indonesia keinginan atau cita – cita itu harus dipendam dulu karena banyak faktor yang tidak mendukung, misalnya adalah faktor ekonomi. Keadaan ekonomi Indonesia masih tidak semaju mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan suatu saat ekonomi kita lebih baik, pemerintah – DPR dan rakyat mendukung bahwa kita berkeinginan untuk juga mengibarkan bendera merah putih diluar angkasa sana, kenapa tidak.

Kepala Observatorium Bosscha, Taufik Hidayat mengungkapkan untuk Indonesia cita – cita mengirimkan orang sampai ke bulan sangat jauh, sampau hari ini penelitian angkasa luar, khususnya bulan hanya untuk bidang pendidikan saja, salah satunya di manfaatkan untuk menentukan Hilal guna menentukan jatuhnya bulan puasa Ramadhan dan Idul Fitri untuk umat Islam.

Sebenarnya penelitian angkasa luar di Indonesia sudah ada sejak lama, bahkan Indonesia hampir memiliki astronot yang akan terbang ke luar angkasa. Tentu kita masih ingat dengan dua orang calon astronot kita, yaitu Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar.

Keberangkatan kedua calon astronot itu merupakan kerja bareng pemerintah Indonesia dengan Badan Antariksa Amerika Serikat atau National Aeronautics and Space Administration (NASA), dalam rangka peluncuran satelit kebanggaan Indonesia, Palapa. Namun, musibah meledaknya pesawat Challenger pada Januari 1986 menjadi awal yang memupuskan kesempatannya menjalankan ekspedisi bergengsi itu. Dan akhirnya pemerintah Indonesia benar – benar menggagalkan misi keberangkatan Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar pada tahun 1997 karena badai krisis moneter.

Tahun 1961, Rusia yang kala itu masih bernama Uni Soviet, sukses mengirim Kosmonot Yuri Gagarin sebagai manusia pertama di dunia yang terbang keluar angkasa. Tahun 1969, Amerika Serikat sukses mencatat seharah dengan mengirimkan Astronotnya Neil Amstrong dan Edwin “Buzz” Aldrin sebagai manusia pertama yang mendarat di Bulan.
Indonesia, pada tahun 2014 baru bercita – cita bisa meluncurkan satelit dengan wahana roket buatannya sendiri. Ada apa dengan Indonesia? Mengapa begitu tertinggalnya? Negara lain sudah mengirimkan manusia keluar angkasa, tapi Indonesia masih baru berfikir untuk mengirimkan misi tanpa awak.

Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Rusia, yang negaranya sudah lebih maju. Namun, mengapa Indonesia begitu tertinggal? Apa karena Indoneisa menganut paham “pelan – pelan yang penting sampai juga” atau pemerintah kita yang “agak kurang peduli” dengan penelitian luar angkasa. Tapi apapun alasannya semoga cita – cita meluncurkan atelit di 2014 nanti bisa terwujud, dan akhirnya Indonesia bisa menancapkan Sang Merah Putih entah di bulan atau planet lainnya… Amin (Diu Oktora/ Juli 2009)

27 Agustus 2009

Kami Hidup Bersama Deru Kereta Api


Pemukiman Penduduk Di Sepanjang Rel Kereta Api Pejompongan – Jakarta Pusat

Tak pernah terbayangkan dalam diriku hidup berdampingan dengan kereta api yang melaju kencang. Kali ini perjalanan liputan ku menemui mereka – mereka yang hidup berdampingan dengan si ular besi, yaa... Merekalah manusia – manusia pinggir rel kerata api.

Entah karena kurangnya lahan pemukiman untuk penduduk atau semakin banyaknya penduduk di Jakarta, sehingga Ibukota Negara Republik Indonesia ini tak kuasa menampungnya lagi, lahan – lahan disepanjang pinggir rel kereta api menjadi tempat bagi para penduduk untuk bermukim.

Rumah – rumah berjejer memadati lahan – lahan dipinggir rel kereta api. Kondisi ini sangat membahayakan baik bagi para penduduk maupun bagi kereta api itu sendiri. Bagaimana tidak? Jarak antara pemukiman penduduk dengan bahu kereta yang melaju dengan cepat jaraknya kurang lebih hanya 20 centimeter saja.



Salah satu pemukiman yang memadati lahan pinggir jalur kereta api adalah di kawasan Pejompongan – Jakarta Pusat. Dikawasan ini aku dan cameramen ku, Attaris Mauldin menemui Bapak Ahmad Nawawi.

Bagi pak Ahmad, hidup dipinggir rel kereta api memang bukan pilihan, tapi tidak ada pilihan lain alias terpaksa harus hidup berdampingan dengan si ular besi. Rumah Pak Nawawi benar – benar berada tepat dipinggir rel jalur kereta api Tanah Abang – Serpong. Halaman rumah laki – laki yang hampir berusai 70 tahun ini adalah rel kereta api. Di rumahnya yang berdindingkan tambalan – tambalan triplek dan papan, pak Nawawi hidup bersama 11 anggota keluarganya. Padahal ukuran rumah pak Nawawi hanya sebesar 2 x 2 meter saja.

Pak Nawawi tinggal dipinggir rel kereta api sudah sejak tahun 1995. Awal menempati lahan pinggir rel, pak Nawawi tidak tahu kalau areal sepanjang rel kereta api adalah milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Menurutnya, ketika dia akan membangun rumah sudah banyak rumah disekitar jalur rel kereta api.

Bagi pak Nawawi dan warga lainnya mereka telah terbiasa dengan kereta yang melaju di depan rumah mereka. Tidak pernah ada rasa khawatir pada mereka melihat kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi, biasanya mereka akan memberikan tanda sendiri kepada warga lainnya dengan berteriak ”ada kereta” .. ”awas kerata” setiap kereta api lewat, pak Nawawi dan warga lainnya pun langsung berhamburan masuk ke rumah masing – masing untuk mengamankan diri. Selain itu mereka juga sudah hapal jam berapa saja kereta api lewat.



Untuk bisa bertahan hidup, manusia memang harus berkompromi dengan lingkungannya, salah satunya adalah berkompromi dengan kereta api. Kompromi itulah yang dilakukan pak Nawawi dan warga yang tinggal di kawasan pinggir rel pejompongan. Jika mereka boleh memilih, tentu mereka tidak ingin tinggal berdampingan dan menantang maut, namun pilihan itu tidak ada. (Jakarta, Juni 2009/ Diu Oktora)