28 Desember 2009

Eksotisme Wakatobi dan Tanda Tanya Kebudayaan



Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul sebelas siang. Bersama dua jurnalis lain, saya terbang menuju Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dibutuhkan waktu selama tiga jam penerbangan dengan pesawat Sriwijaya Air untuk tiba di Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara, setelah sebelumnya transit di Bandara Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Karena penerbangan ke Wakatobi hanya ada pada pagi hari, kami terpaksa menginap di Kendari. Dan besoknya kami sampai di Bandara Matahora, Wakatobi, setelah melalui penerbangan selama 30 menit dengan pesawat Susi Air.

Wakatobi adalah kabupaten di Sulawesi Tenggara dengan Wangi-Wangi sebagai ibukotanya. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 ini memiliki lima kecamatan, yakni Binongko, Kaledupa, Tomia, Wangi-Wangi, dan Wangi-Wangi Selatan.

Semula, Kabupaten Wakatobi merupakan taman laut nasional yang memiliki potensi keindahan alam, baik darat maupun laut. Kepulauan yang terletak di Perairan Laut Banda ini memiliki jajaran karang laut terindah di segitiga karang dunia. Tak hanya itu, jajaran karangnya, yang ada di Kaledupa, merupakan satu-satunya yang terpanjang di dunia. Kaledupa adalah salah satu gugusan pulau karang di Wakatobi dengan panjang atol mencapai 48 kilometer.

Selain itu, perairan Wakatobi juga memiliki spesies binatang laut unik terbanyak di dunia. Jika dibandingkan dengan Kepulauan Karibia di benua Amerika, Wakatobi masih lebih unggul. Di Karibia, jumlah spesies binatang laut unik adalah 200, sedangkan di Wakatobi mencapai 750 spesies. Salah satu spesies unik di Wakatobi adalah kuda laut yang tingginya hanya 2,5 sentimeter.

Keindahan alam dan potensi laut Wakatobi yang luar biasa ini membuat Pemerintah Kabupaten Wakatobi gencar melakukan promosi pariwisata. Tidak main - main, untuk menunjang perkembangan pariwisata, Pemerintah Wakatobi membangun Bandara Matohara dengan panjang landasan 1200 meter dan lebar 40 meter.

Kedatangan saya ke Wakatobi adalah dalam rangka Festival Sail Indonesia 2009 yang digelar pada Agustus 2009. Festival yang diadakan di Wangi - Wangi ini merupakan salah satu promosi pariwisata yang rutin diadakan oleh pemerintah daerah Wakatobi tiap tahunnya. Dalam Sail Indonesia 2009 ditampilkan berbagai budaya asli Wakatobi, antara lain Bangka Mbule-Mbule, Kabuenga, dan Karia’a.



Bangka Mbule-Mbule adalah upacara melarung hasil bumi ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mandati. Berbagai hasil bumi itu diantaranya padi, jagung, dan pisang. Sebelum dilarung ke laut, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, hasil bumi diletakkan dalam perahu kayu yang dihiasi dengan sepasang orang-orangan sebagai simbol kejahatan. Kedua, perahu yang sudah berisi hasil bumi ini kemudian diarak keliling kampung guna mengusir mara bahaya yang akan mengganggu desa. Nah, perahu yang membawa hasil bumi yang akan dilarung ini disebut Mbule-Mbule.

Tujuan dari acara Bangka Mbule-Mbule adalah untuk mengucapkan syukur sekaligus menghindari bencana, seperti bencana alam, mewabahnya penyakit, atau persoalan sosial yang dapat mengakibatkan gangguan di masyarakat.

Pada bagian lain, ditunjukkan pula bagaimana cara Suku Liwo, salah satu penduduk asli Wakatobi, mencari jodoh untuk anak perempuannya. Caranya adalah dengan melelang makanan. Dan laki-laki yang memberikan penawaran tertinggi akan menjadi jodoh anak perempuan dari Suku Liwo.

Lalu, bagaimana caranya melamar dengan gaya lelang makanan? Caranya tak lain dengan menyusun makanan berupa lauk pauk dan kue secara bertingkat dan dihias untuk memikat hati laki-laki. Makanan tersebut kemudian diletakan di ruang depan rumah. Jika ada laki-laki yang berminat, maka ia akan melakukan tawar menawar dengan keluarga pihak perempuan. Dan laki-laki dengan tawaran harga paling tinggilah yang berhak mempersunting. Setelah kesepakatan terjadi, laki-laki dan perempuan yang telah berjodoh akan diayun di sebuah ayunan yang terbuat dari pohon pinang, bambu, dan rotan. Ayunan ini disebut dengan Kabuenga.

Acara Kabuenga ini biasanya dilakukan setelah perayaan Idul Fitri. Sebab, biasanya pada saat itu laki-laki Suku Liwo yang merantau akan kembali pulang ke kampung halaman.

Sementara itu, upacara adat Karia’a adalah sama dengan perayaan sunatan. Upacara ini biasanya dilakukan oleh Suku Buton, dimana anak-anak mereka umumnya sudah disunat sejak usia lima tahun.

Upacara adat Karia’a, yang biasanya dilakukan di sebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara nyanyian dari sekelompok ibu-ibu. Seluruh peserta perayaan Karia’a akan mendapatkan bagian dari syara, yaitu pemimpin upacara Karia’a. Kemudian, semua peserta upacara akan menuju batanga, yaitu tempat perayaan dari rumah mereka masing-masing. Peserta menuju batanga dengan menggunakan kansoda’a, yaitu usungan yang terbuat dari bambu besi, atau oleh masyarakat setempat disebut o’o.

Perayaan Karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampung sambil membawa usungan. Uniknya, dalam perayaan Karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat, melainkan anak-anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah Buton Wakatobi dan hiasan bunga di kepala. Setiap usungan bisa berisi tiga hingga lima anak perempuan dan diusung oleh empat hingga sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan Karia’a boleh juga diikuti oleh laki-laki dewasa yang sudah disunat namun belum pernah mengikuti perayaan Karia’a sebelumnya.

Upacara adat Karia’a merupakan salah satu tradisi Suku Buton Wakatobi yang sudah dilakukan sejak 1918. Begitu juga dengan upacara adat Bangka Mbule - Mbule dan Kabuenga yang usianya sudah ratusan tahun. Mempertahankan tradisi leluhur memang terus dilakukan oleh masyarakat Wakatobi.

Namun demikian, saya mencoba mencari tahu, apakah masyarakat memahami makna dari dari upacara-upacara adat yang ditampilan dalam Festival Sail Indonesia 2009. Dan saya mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Dari beberapa orang yang saya tanya tentang beberapa kegiatan, jawabannya selalu berbeda-beda. Misalnya, dalam upacara adat Karia’a, tidak ada yang dapat memastikan mengapa yang diusung adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki yang disunat.

Seketika saya merasa bahwa upaya mempertahankan tradisi nenek moyang hanya sekedar menjadi kebiasaan. Berbagai simbolisasi dalam adat tidak diiringi dengan pemahaman. Ia tampak hanya sekedar sebuah ritual demi meramaikan festival kebudayaannya belaka. Padahal, mempertahankan budaya yang hakiki berarti memahami makna sesungguhnya yang terkandung dalam berbagai simbol budaya tersebut.

Baca juga di : http://wisataloka.com/kultur/eksotisme-wakatobi-dan-tanda-tanya-kebudayaan/

Adat dan Demokrasi di Desa Walait, Papua



Walait adalah sebuah desa yang terletak di dataran tinggi Lembah Baliem di Wamena, Papua. Penduduknya sangat dekat dengan alam dan percaya bahwa alam, sebagai sumber penghidupan, akan memperlakukan mereka dengan baik jika mereka setia menjaga semesta. Kendati sebagian orang menganggap penduduk di Desa Walait sebagai kelompok masyarakat yang masih primitif, namun Kaum Walait ternyata amat akrab dengan suasana demokrasi: mereka mengenal musyawarah mufakat dan prinsip-prinsip keadilan dalam mengkonsumsi sumber daya alam yang ada disekitar mereka.

Deru mesin pesawat sesekali terdengar memecah keheningan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Saat itu menjelang tengah malam dan saya tengah bersiap menunggu pesawat yang akan menghantar saya menuju Jayapura, Papua. Meskipun ini bukan perjalanan yang pertama buat saya, namun terasa ada semangat yang lebih karena kali ini saya berkesempatan mengunjungi Wamena, kota impian yang selama ini hanya saya kenal lewat buku dan foto.

Dari buku yang saya baca dan foto yang saya lihat, Wamena terkenal sebagai Kota yang eksotis. Keindahan alam dipadu dengan tradisionalitas penduduk asli menjadi kombinasi yang sangat kontras. Sebenarnya saya sudah tiga kali mengunjungi Papua dalam rangka melaksanakan tugas jurnalistik saya, namun selalu saja saya tidak berkesempatan mengunjungi Wamena. Sekarang saya kembali ke Papua, dan tujuan utama saya adalah: Wamena.

Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB saat pesawat yang saya tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Lamanya perjalanan memakan waktu hingga 10 jam, termasuk transit dua kali di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Biak. Hari telah pagi ketika saya menginjakkan kaki di Bandara Sentani, Jayapura. Begitu banyak supir taksi telah menunggu turunnya para penumpang dari pesawat dan harga yang mereka tawarkan atas jasa taksi mereka sungguh mahal.

Saya meluangkan waktu satu minggu untuk tinggal di Jayapura seraya mempelajari kehidupan suku asli masyarakatnya yang tinggal di tengah laut. Barulah pada hari kedelapan, saya berangkat menuju Wamena.

Perjalanan dari Jayapura menuju Wamena ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang. Tiketnya terbilang murah untuk standard ekonomi di Papua, yaitu Rp 500.000 per orang dengan pesawat Trigana p.p. Jayapura-Wamena. Dalam sehari, pesawat tersebut melakukan lima kali penerbangan p.p. Jayapura-Wamena. Saya mengatakan bahwa harga tiket pesawat tersebut terhitung murah karena di Papua ini hampir semua harga kebutuhan pokok dan barang-barang terhitung berkali-kali lipat dibandingkan harga di Pulau Jawa.

Sebaiknya memilih waktu penerbangan saat cuaca cerah karena Kota Wamena berada di dataran tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan. Pagi hari adalah waktu yang paling tepat untuk terbang kesana.

Tepat pukul 05.00 WITA, saya sudah bersiap di Bandara Sentani karena sesuai manifest tiket, penerbangan menuju Wamena akan dilakukan tepat pukul 06.00 WITA. Saat akan check-in, serta merta kabar yang tidak diharapkan terdengar ketika petugas bandara mengumumkan bahwa hari itu tidak ada penerbangan ke Wamena karena bertepatan dengan peringatan Tahun Baru. Sontak saya terkejut dan marah karena tanggal penerbangan dalam manifest tiket yang saya pegang adalah tanggal 1 Januari, pukul 06.00 WITA. “Bagaimana mereka bisa seenak-enaknya membatalkan penerbangan”, keluh saya dalam hati. Karena protes tak berjawab, saya pun ikhlas menunda penerbangan hingga keesokan harinya.

Pagi hari berikutnya, saya kembali bersiap di Bandara Sentani. “Untunglah kali ini tidak ada pengumuman mendadak tentang pembatalan penerbangan,” pikir saya dalam hati.

Saat telah mendekati Tanah Wamena, pesawat yang saya tumpangi melakukan manufer terbang berputar-putar beberapa kali agar dapat menurunkan ketinggian di tengah medan yang berbukit-bukit. Perut saya serasa diaduk-aduk. Syukurlah pesawat mendarat dengan selamat. Bandara Wamena memang sangat sederhana. Tidak tampak pagar pembatas di sekeliling landasan pacu. “Inilah Wamena,” saya berseru gembira dan berjalan turun dari pesawat.

Dari Bandara Wamena, saya tidak memesan kendaraan khusus untuk bisa tiba di tengah kota. Dan becak adalah alternatif mengasyikan yang saya pilih. Namun penampilan saya rupanya mengesankan para tukang becak bahwa saya adalah “pendatang baru” di tanah mereka, sehingga mereka pun langsung mematok tarif yang cukup mahal tanpa terlebih dahulu bertanya kemana tujuan saya. “Saya mau ke tempat kenalan saya, Bapak Robert Djonsoe, apakah Bapak tahu rumahnya dan berapa tarif becak kesana?,” saya bertanya pada si tukang becak, yang sebelumnya telah mematok tarif Rp 50.000. Setelah mendengar tujuan yang akan saya datangi, wajah si tukang becak tampak terkejut dan segera menjawab, “Oh, tarif kesana lima ribu rupiah saja,” ujar si tukang becak.

Dalam hati saya merasa geli bercampur bingung, betapa tidak, Robert Djonsoe adalah Kepala Polisi Resort Wamena saat itu. Dia dikenal dekat dengan warga setempat dan warga begitu menghormatinya, sehingga tidak heran bila si tukang becak langsung menurunkan harga hingga cukup “drastis”.

Setelah beristirahat sehari, petualangan pertama saya di Wamena pun dimulai. Dalam catatan yang saya susun, saya berencana akan mengunjungi salah satu desa tradisional di Lembah Baliem, yaitu Desa Walait. Hari itu di Desa Walait akan ada upacara adat, Bakar Batu, guna menyukuri nikmat yang telah diberikan oleh alam kepada manusia.

Setengah perjalanan menuju Desa Walait dapat ditempuh dengan mobil khusus yang digunakan untuk off road karena perjalanan yang ditempuh memiliki medan yang cukup berat: melewati hutan dengan jalanan buruk, berbatu dan menanjak. Setelah menempuh dua jam perjalanan dengan mobil, saya dan rombongan tiba di bukit tempat dimana akhir perjalanan dapat ditempuh dengan mobil.

Turut dalam rombongan saya adalah beberapa petugas polisi dari Kepolisian Resort Wamena. Kenapa ada polisi? Karena kondisi keamanan yang cukup rawan. Hutan-hutan di Lembah Baliem merupakan salah satu basis dari gerakan pro-kemerdekaan, Organisasi Papua Merdeka (OPM), sehingga kami diingatkan untuk menyertakan pengawalan dari aparat polisi saat akan melintasi Lembah Baliem.

Selama dalam perjalanan menuju Walait, yang tergambar dalam benak saya adalah penduduk pedalaman Lembah Baliem yang hanya mengenakan koteka, atau pakaian tradisional bagi kaum lelaki di Papua, dan rok rumbia tanpa penutup dada bagi perempuannya. Namun, gambaran dalam benak itu buyar seketika saya turun dari mobil. Disana kami disambut oleh sekelompok gadis pedalaman Lembah Baliem, lengkap dengan kostum rok rumbia dan penutup dada. Saya berpikir, apakah pakaian tradisional kaum perempuan di Papua sudah mengalami “modernisasi” sehingga mereka kini mengenakan penutup dada…? Mungkin ada bagusnya, namun semoga saja tidak menghilangkan keaslian budaya di Lembah Baliem”.

Para gadis itu menyanyikan dan menarikan lagu dan tarian adat yang khusus dilakukan untuk menyambut tamu. Mereka tampak begitu gembira sehingga tanpa sengaja, kaki dan tangan saya ikut bergerak mengikuti tarian mereka.



Saya bersama rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju Desa Walait. Kali ini perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Saya sempat bertanya kepada salah seorang polisi yang mengantar, “Bapak, berapa lama perjalanan ke Walait?”. Si polisi menjawab, “Sekitar dua sampai tiga jam”. Saya pun menggumam “Ampun jauhnya…”

Namun perjalanan menuju Desa Walait tidak terasa lama karena jalanannya yang menurun. Apalagi selama dalam perjalanan, penduduk pedalaman yang tadi menyambut saya dan rombongan selalu menyanyi dan menari. Bahkan sesekali langkah mereka terhenti karena gerakan khusus dari tari-tarian mereka.

Lembah Baliem memang indah. Itulah yang saya saksikan dengan mata dan kepala sendiri selama dalam perjalanan menuju Desa Walait. Hamparan tumbuhan yang menghijau tampak seperti permadani. Air sungai yang mengalir tampak sangat jernih. Honai-honai (rumah/tempat tinggal suku pedalaman) yang berjajaran menambah eksotis pemandangan, sementara kerumunan babi peliharaan penduduk pedalaman berkeliaran di sekeliling honai. Lembah Baliem bagaikan surga dunia.

Akhirnya setelah menempuh tiga jam perjalanan, saya dan rombongan pun tiba di Desa Walait. Kami disambut oleh Kepala Suku Besar Haliok Jelipele dan 12 Kepala Suku Adat. Para Kepala Suku Adat membentuk dua barisan saling berhadapan, sementara Kepala Suku Besar berada di tengah barisan. Ada keunikan saat Kepala Suku Besar Haliok Jelipele menyambut kedatangan saya dan rombongan: ia menangis, atau tepatnya meratap. Terheran-heran, saya pun bertanya kepada salah seorang anggota rombongan yang memahami bahasa suku pedalaman, “Mengapa Kepala Suku menangis?”. Pertanyaan saya dijawab, “Itu bukan menangis karena sedih, tapi tangisan gembira dan tanda terima kasih karena kita mau datang ke Upacara Adat Bakar Batu yang diadakan oleh penduduk Desa Walait. Tangisan itu sebagai tanda penghormatan”.

Usai tangisan Kepala Suku Besar berhenti, tradisi penyambutan lain dilakukan, yaitu saling bertukar hadiah. Ketua rombongan kami, yang adalah Kasat Serse Polres Wamena, diberikan koteka dan untaian bunga. Sementara Kepala Suku Besar diberikan kaca mata hitam. Kepala suku besar pun langsung mengenakan kaca mata hitam itu sebagai tanda penghormatan…tentu saja pemandangan ini membuat saya tersenyum.

Upacara Adat Bakar Batu pun dimulai. Upacara dimulai dengan musyawarah besar warga suku pedalaman. Kepala Suku Besar Haliok Jelipele mengingatkan warganya untuk tidak pernah merusak alam karena dari alamlah selama ini kehidupan mereka bersumber. Warga setempat pun diberikan kesempatan untuk menyampaikan keluh kesah mereka. Setelah musyawarah besar usai, acara dilanjutkan dengan Upacara Adat Bakar Batu. Sebenarnya Upacara ini adalah rangkaian proses membakar makanan diatas batu. Makanan yang dibakar adalah wam atau babi panggang, dan ubi, yang dalam bahasa suku pedalaman disebut hipere. Pembagian makanan berlangsung sangat adil: Kepala Suku Besar membagi sama rata daging babi panggang dan hipere, untuk selanjutnya oleh Kepala Suku Adat, potongan babi panggang dan hipere itu diberikan kepada warga yang sudah duduk berkelompok. Sungguh gambaran sistem demokrasi yang sangat indah.



Keramahan suku pedalaman di Desa Walait sangat luar biasa. Saat acara makan bersama, makanan yang tersedia hanya sayur-sayuran, hipere dan wam. Menyadari bahwa saya dan beberapa anggota rombongan lain tidak mengonsumsi daging babi, Kepala Suku Besar telah menyediakan makanan khusus buat kami. Melalui penerjemah yang ikut dalam rombongan, Kepala Suku Besar berkata kepada saya, “Kami sudah menyediakan ayam untuk makan Saudara. Saya harap Saudara mau makan bersama kami karena ini suatu kehormatan”. Terharu rasanya mendapatkan perlakuan istimewa dari mereka. Satu pelajaran tentang keramahtamahan telah saya dapat hari itu dari masyarakat yang oleh sebagian orang masih dianggap primitif.

Selama berada di Desa Walait, ada beberapa kejadian tidak biasa yang saya alami — boleh dikatakan mistis. Kejadian itu membuat saya sadar bahwa jika manusia memelihara alam dengan baik, maka alam juga akan baik kepada manusia. Inilah yang saya rasakan sendiri di Walait. Saat itu saya hendak buang air kecil. Saya bingung harus bagaimana, karena disana tidak ada kamar mandi. Seorang perempuan dari Suku Walait, dan tentu saja dengan didampingi penerjemah, mengantar saya ke sebuah sungai yang airnya luar biasa jernih namun arusnya deras.

Perempuan Walait itu berkata bahwa saya hanya boleh membuang air kecil di tengah-tengah sungai, dimana disana terdapat dua buah batu besar. Alasan perempuan Walait itu, alam hanya mengijinkan tempat itu saja untuk tempat penduduk buang air kecil dan mandi.

Melihat derasnya air, tentu saja saya tidak berani berjalan menuju ke tengah-tengah sungai. Selain karena saya tidak bisa berenang, saya pun yakin arus yang deras itu tidak bisa dilewati. Jarak pinggir sungai ke tengah-tengahnya pun cukup jauh, sekitar 100 meter. Tampaknya perempuan Walait itu mengerti kebingungan saya. Kemudian dia berkata bahwa saya harus minta izin terlebih dahulu kepada sungai dengan cara membasuh wajah saya dengan air sungai, dan saya harus yakin bahwa sungai tidak akan mencelakan saya. Karena sudah tidak bisa menahan untuk buang air kecil, saya pun menuruti kata-kata perempuan Walait tersebut: mengambil air sungai dan membasuh wajah saya. Ajaib. Saat kaki saya mulai melangkah, arus sungai yang sangat deras tiba-tiba menjadi pelan dan tenang. Saya pun bisa berjalan ke arah dua batu tersebut dan buang air kecil dengan tenang.

Kejadian mistis lain yang saya alami adalah saat hujan turun ditengah berlangsungnya musyawarah adat. Ternyata bagi penduduk pedalaman Lembah Baliem, jika hujan turun saat upacara adat berlangsung, itu diartikan ada penduduk yang melakukan “kesalahan”. Maka sebagai Kepala Suku Besar, Haliok Jelipele harus meminta maaf kepada alam. Dengan kekuatan magis yang dimilikinya, Haliok Jelipele menghadap kepada awan yang berwarna paling hitam kemudian berbicara dengan alam sambil menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan berlari-lari kecil sambil berputar. Kepala Suku Besar kemudian mengambil busur dan anak panah, untuk selanjutnya melepaskan anak panah itu dari busurnya ke empat penjuru mata angin. Sekali lagi, ajaib. Hujan yang turun cukup deras seketika berhenti dan langit kembali biru.

Setelah berada selama enam jam di Desa Walait, saya dan rombongan harus segera kembali ke Kota Wamena. Sebelum kami pulang, Kepala Suku Adat Besar mengatakan bahwa kami sudah harus melewati pohon besar sebelum hujan turun, karena jika tidak, maka kami tidak bisa pulang. Memang saat saya dan rombongan akan pulang, langit sudah kembali menghitam. Perasaan kaget dan takut bermain-main di kepala saya karena perjalanan pulang yang akan kami tempuh bukanlah sebuah medan yang ringan: jika saat datang, kami menempuh jalan menurun, maka saat kami pergi, kami menempuh jalan menanjak.

Dengan diantar oleh beberapa pria Desa Walait, saya dan rombongan pun memulai perjalanan pulang. Tentu saja kami cepat menjadi lelah karena jalanan yang amat menanjak. Kami berhenti sesekali untuk mengatur nafas dan istirahat, sementara hujan rintik-rintik mulai turun dari langit. Salah seorang pria dari Desa Walait itu menyarankan agar kami tidak terlalu banyak beristirahat karena alam sedang tidak bersahabat. Untuk mempercepat waktu, dia dan beberapa pria Walait lainnya mengusulkan untuk menggendong saya dan beberapa anggota rombongan. Awalnya saya menolak karena tidak sampai hati. Badan pria-pria Desa Walait itu kecil dan tentu akan sangat sulit untuk menempuh perjalanan menanjak seraya menggendong orang lain. Tapi memang tidak ada pilihan lain, akhirnya saya dan beberapa orang dari anggota rombongan digendong oleh pria-pria Walait itu. Ternyata, sekalipun tubuh mereka kecil, mereka memiliki tenaga yang sangat kuat. Dalam waktu setengah jam, saya dan rombongan sampai ditempat kami memarkir mobil. Dan segera setiba di tempat mobil kami terparkir, hujan turun dengan deras.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju hotel. Sesampainya di hotel, saya langsung mandi air hangat. Perjalanan menuju Desa Walait amat menguras keringat dan tenaga, sehingga tidak lama setelah mandi, saya pun terlelap.

Baca juga di : http://wisataloka.com/jelajah/adat-dan-demokrasi-di-desa-walait-papua/

Kenikmatan Khas Udang Selingkuh

Banyak orang berkata bahwa jika Anda pergi ke Papua, namun tidak menjejakan kaki di tanah Wamena, itu sama saja berarti Anda belum ke Papua. Wamena memang merupakan salah satu kota impian yang sangat ingin saya kunjungi; sebuah tempat di dataran tinggi Papua yang terasa sejuk kendati di siang hari saat matahari bersinar dengan terik.

Berjalan-jalan di pusat kota Wamena merupakan sebuah pengalaman yang tak penah saya lupakan. Dengan menumpang sebuah becak, mata saya menyapu hamparan bunga-bunga yang tumbuh liar di sepanjang jalan; tampak pula satu-dua laki-laki dan perempuan yang berjalan kaki hanya dengan mengenakan pakaian tradisional mereka : koteka bagi kaum lelaki dan rok rumbai tanpa penutup dada bagi kaum perempuan. Saat ini mayoritas masyarakat Papua memang tidak lagi mengenakan pakaian tradisional mereka kecuali pada saat-saat tertentu, termasuk upacara adat.

Kota Wamena berada di kawasan Lembah Baliem. Selain panorama alamnya yang indah, Kota ini pun menawarkan kuliner dengan rasa yang amat menggoda dan salah satu yang sangat terkenal adalah Udang Selingkuh. Nama makanan ini terdengar unik di telinga, namun sebaiknya anggapan miring tentang istilah “selingkuh” dibuang jauh-jauh dari pikiran. Kata Selingkuh dalam kuliner ini dimaksudkan pada kedua capit panjang yang terdapat di kepala udang tersebut, yang sebetulnya lebih menyerupai capit kepiting. Ukuran udang air tawar ini pun lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran udang pada umumnya.

Udang Selingkuh umumnya disajikan dengan cara digoreng, namun ada pula yang memesan menu kuliner ini dalam bentuk rebusan. Penyuka Udang Selingkuh goreng dapat memilih menu lain seperti nasi hangat dan tumis kangkung sebagai pelengkap rasa. Penyajian Udang Selingkuh pun dapat beragam, tergantung selera : dengan racikan saus mentega, atau saus tiram, saus padang, atau saus asam manis. Bagi mereka yang memilih Udang Selingkuh rebus, alangkah terasa sedap jika menggabungkan menu kuliner ini dengan sepiring nasi hangat plus sambal tomat dan lalapan sebagai pendamping. Ada lagi cara penyajian yang lain, yaitu dibakar. Namun, jenis penyajian ini tidak terlalu sering dilakukan.

Salah satu rumah makan di Wamena yang memasukkan menu Udang Selingkuh dalam daftar makanannya adalah Rumah Makan Blambangan, yang berlokasi di Jl. Trikora. Di rumah makan ini, harga satu porsi Udang Selingkuh terbilang cukup mahal, berkisar antara Rp 70.000 hingga Rp 100.000, termasuk sepiring nasi hangat. Mahalnya harga perporsi Udang Selingkuh ini dikarenakan langkanya jenis udang tersebut di pasar, pun tidak sembarang tempat di Wamena menyajikan jenis kuliner ini.

Baca juga di : http://wisataloka.com/boga/kenikmatan-khas-udang-selingkuh-2/

25 Desember 2009

Mie Aceh



Banda Aceh sudah tidak asing buat saya. Untuk kepentingan peliputan dari Jakarta, saya sudah mendatangi ibukota Aceh ini berkali-kali. Namun, kali ini kedatangan saya bukan untuk peliputan. Menjelang akhir 2009, bersama suami, saya datang untuk mengenalkan pada putra pertama kami tentang kampung halamannya. Suasana menjadi jauh lebih santai. Dan saya memiliki waktu untuk menikmati kota atau hidangan khas Aceh; sesuatu yang dahulu harus saya lakukan terburu-buru ditengah padatnya pekerjaan.

Di Banda Aceh, ada satu jenis kuliner yang selalu menggoda perhatian saya. Ya, mie Aceh namanya, dan yang menjadi favorit saya adalah mie kepiting. Salah satu tempat “jempolan” yang menjual mie kepiting adalah di kedai Mie Razali. Kedai yang terletak di Jalan Panglima Polim ini setiap harinya ramai dikunjungi pembeli. Di sini orang tidak hanya memburu mie kepiting, tetapi juga versi lain, seperti mie udang, daging, atau seafood.

Mie Aceh dapat dicicipi dengan dua cara, yakni digoreng atau direbus alias menggunakan kuah. Untuk rasa, Anda bisa memilih sendiri, apakah ingin pedas atau tidak. Mie kepiting biasanya disantap ketika masih hangat, tentu dengan tak melupakan emping dan acar bawang merah sebagai pendamping santapan. Dengan menyantap mie kepiting, Anda akan merasakan rempah-rempah khas Aceh secara kental. Rempah-rempah ini tidak hanya terasa di setiap helai mie, tetapi juga saat Anda menyantap daging kepitingnya.

Harga satu porsi mie kepiting sepertinya relatif mahal, yaitu Rp 28 .000. Meski demikian, harga itu menjamin kepuasan Anda saat menikmati mie kepiting.

Nah, jika Anda ingin mencoba memasak sendiri mie aceh di rumah, berikut resep lengkap mie Aceh:

Bahan:

* 400 gram mie basah/kuning
* 750 mililiter kaldu sapi
* 150 gram udang basah, bersihkan, buang kulitnya
* 150 gram daging kambing/sapi, potong dadu
* 1 ekor kepiting
* 1 buah tomat, potong dadu
* 4 siung bawang putih, iris tipis
* 3 siung bawang merah, iris tipis
* 60 gram tauge, siangi, buang buntutnya
* 100 gram kol, iris tipis
* 1 sendok teh cuka
* 2 sendok makan kecap manis
* 1 batang daun bawang, iris halus
* 1 sendok makan seledri, iris halus
* 2 sendok teh garam
* Merica secukupnya
* 3 sendok makan minyak goreng

Bumbu halus:

* 5 buah bawang merah
* 3 siung bawang putih
* 4 buah cabai merah, buang bijinya
* ½ sendok makan bubuk kunyit
* 4 butir kapulaga
* 1 sendok teh jinten, sangria
* 1 sendok teh lada butir

Pelengkap:

* Emping goreng
* Acar mentimun
* Irisan bawang merah

Cara membuat:

1. Tumis bawang merah iris, bawang putih iris, dan bumbu halus hingga harum.
Masukkan daging, aduk dan masak hingga daging berubah warna. Lalu tambahkan
udang, kepiting, dan tomat, dan aduk rata.
2. Masukkan kaldu, seledri, daun bawang, garam, dan cuka. Masak hingga daging
matang dan air berkurang sambil sesekali diaduk.
3. Masukkan kol dan tauge, dan aduk rata. Kemudian tambahkan mie dan kecap manis.
Aduk hingga semua bahan tercampur rata dan matang. Lalu angkat.
4. Sajikan panas-panas dengan acar mentimun dan emping goreng.

Ya, dan mie Aceh pun siap disantap. Jika Anda belum pernah mencicipinya, maka cobalah. Ia akan mampu menggedor imajinasi Anda pada makanan.

Baca juga di : http://wisataloka.com/boga/mie-aceh/