Selesai Salat Jumat, eh ada permintaan untuk keatas panggung yang basah bekas hujan dan bergoyang-goyang karena banyak orang di atasnya. Bambang harus memutar otak lagi.
"Kendaraan tempur Anoa saya pepetkan. 'Pak, izin, kalau mau pidato, di atas ini saja.' Presiden menggelengkan kepala. Maunya tetep ke panggung. Bayangkan, tidak ada security door! tidak ada perangkat X-ray! Itu kan standar pengamanan Presiden?!! Menjamin keamanannya bagaimana?"
Ya, lalu bagaimana?
"Saya cari akal. Ketemu... Ada para anggota korps Wanita TNI Paspampers yang langsung membantu membikin lorong menuju panggung. Karena bukan muhrim, massa agak menjauh, Presiden jadi tak tersentuh."
Solusi Cerdik.
Menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan presiden, selalu menuntut Bambang Suswantono, yang ketika peristiwa 212 di Monas menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Danpaspampers) harus berpikir cerdik dan cepat.
"Ijin, pak, kalau kita ke Jakarta, nanti kita melalui Semanggi, Tomang, Harmoni, baru masuk istana. Jadi, lewat belakang."
"Ok. Trus?"
"Kita cukup dua mobil, Pak."
"Dua mobil?," Presiden memastikan ia tidak salah dengar.
"Siap, Pak. Bapak pakai kendaraan saya, kemudian pengawal satu polisi, Pak, untuk membawa voorijder-nya."
Jokowi setuju. Jadilah Bambang duduk di sebelah sang presiden di jip mercy yang merupakan kendaraan dinas Danpaspampers. Di bangku depan, di sebelah sopir, bersiaga Lettu Inf. Teddy Wijaya, ajudan Presiden.
...........................
"Jadi, kami masuk kota. Rotator dan lampu hazard sudah saya perintahkan untuk dimatikan sejak di Cawang. Seet. Jip meluncur dalam kecepatan tinggi di jalan tol. Melewati di DPR, saya lihat para demonstran berkumpul di sana. Presiden sampai di Istana dengan selamat, tanpa ada gangguan."
Lagi - lagi berpikir cerdik dan cepat harus dilakukan oleh Mayjen TNI (Mar) Bambang Suswantono untuk menjamin keamanan dan keselamatan Presiden Joko Widodo yang hendak kembali ke Istana Negara ketika terjadi unjuk rasa besar aksi 411.
Cerita diatas adalah bagian dari Buku "Bambang Suswantono, Memberi Yang Terbaik" yang ditulis oleh Fenty Effendi. Buku setebal 179 halaman itu mencerita perjalanan karir militer seorang Bambang Suswantono yang saat ini menjabat sebagai Komandan Korps Marinir TNI Angkatan Laut.
Banyak kisah menarik yang diceritakan dalam buku ini. Jauh sebelum menjadi orang nomor satu di Korps Marinir, sebagai seorang prajurit Bambang Suswantono selalu mengukir prestasi, berbagai penghargaan dan pujian selalu diterimanya. Namun, ada suatu masa dimana Bambang harus menjalani "hukuman" karena insiden kecil yang terjadi di luar arena pertempuran. Kala itu Bambang yang masih berpangkat Kolonel terpilih sebagai Komandan Upacara penurunan bendera pada peringatan 17 Agustus 2008 di Istana Negara dengan Inspektur Upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika hendak melapor kepada Inspektur Upacara pedang sang Komandan Upacara terjatuh. Dampaknya, Bambang dicopot jabatannya sebagai Komandan Resimen Kavaleri 2 Marinir, semua fasilitas kendaraan berikut supir dan pengawal ditarik. Bambang pun "dihukum" menjadi dosen di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal).
Dari semua rangkaian cerita di Buku "Bambang Suswantono, Memberi Yang Terbaik" yang paling menarik adalah ketika Bambang menjabat sebagai danpaspampers, dan harus menjaga keamanan serta keselamatan Presiden Joko Widodo ditengah aksi 411 dan aksi 212. "Maka tugas saya adalah berusaha sebaik-baiknya mengamankan beliau. Apabila terjadi sesuatu, yang dicari untuk bertanggung jawab tetap Bambang karena kan dia Komandan Paspampers?!" demikian disampaikan oleh Bambang dalam bukunya.
Berpikir cerdik dan cepat menjadi kekuatan bagi Bambang dalam menjalankan tugasnya sebagai Danpaspamers. Berbagai siasat pengaman mulai dari yang direncanakan secara matang, atau bahkan yang tiba-tiba harus dilakukan selalu dapat dijalankan dengan baik. Tak heran selama menjabat 9 bulan sebagai orang nomor satu di pasukan pengaman presiden, Bambang dinilai sangat baik menjaga keamanan dan keselamatan Presiden Joko Widodo.
Membaca "dibalik" Kisah
Lihai membaca "dibalik" orang-orang yang akan ditulisnya, itu gambaran dari penulis Buku "Bambang Suswantono, Memberi Yang Terbaik" Fenty Effenty. Semua buku yang ditulis penulis berdarah Minang Kelahiran Pekanbaru ini sesungguhnya bukanlah materi yang ringan.
Buku Bambang Suswantono, Memberi Yang Terbaik adalah buku tentang seorang Jenderal Militer. Awalnya aku membayangkan kalau buku ini akan membosankan dan isinya soal kedisiplinan dengan berbagai materi yang berat lainnya.
Tapi ditangan penulis yang biasa aku sapa Uni ini semua berbeda, buku ini sangat ringan dan mengalir. Namun semua intisari dan pesan yang ingin disampaikan dapat terkirim dan diterima dengan baik oleh para pembaca.
Tidak ada sama sekali kengerian, keseraman dalam tulisan ini. Bahkan kita bisa mengetahui sisi lain dari seorang Jenderal, dari seorang militer yang hidupnya penuh dengan kedisiplinan tinggi. Buku ini tidak membosankan, bahkan justru membuat penasaran untuk kita membaca langsung tuntas.
Keunikan lain dari Uni Fenty adalah dalam penyusunan bab. Uni tidak pernah menyusun bab dari peristiwa awal ke akhir, kalau bisa diumpamakan uni tidak menulis kisah dengan urutan cerita dari kelahiran hingga kematian atau dari anak-anak hingga dewasa. Dalam bukunya, uni bisa saja menceritakan masa kecil tokoh-tokoh yang ditulisnya di bab akhir buku, dan memulai bab awal dengan cerita mengenai masa kini dari para tokoh.
Begitu pun dengan buku ini, bab yang paling menarik mengenai pengamanan Presiden ditengah aksi 212 dan 411 berada di tengah. Cerita mengenai bagaimana awal seorang Bambang Suswantono memulai karir militer dan masa kecilnya, justru ada di bab paling akhir.
Selalu ada kejutan disetiap tulisan Uni Fenty, dan selalu berbeda gaya disetiap buku-buku yang dihasilkan.