Tahun baru selalu menjadi momen penting untuk dirayakan oleh semua orang, begitu pula dengan pergantian tahun bagi masyarakat keturunan tionghoa. Dalam tradisi masyarakat tionghoa, pergantian tahun biasa disebut dengan Sinchia, atau yang lebih terkenal dengan Imlek.
Sesungguhya perayaan imlek berawal dari pesta menyambut datangnya musim semi. Bagi masyarakat tionghoa purbakala, musim semi mengandung makna/ pergantian tahun. Musim semi menjadi simbol kembalinya alam semesta yang mati suri selama musim dingin yang gelap dan suram. Oleh karena itu, kehadiran musim semi selalu disambut meriah, dan kemudian menjadi cikal - bakal perayaan tahun baru imlek.
Kemeriahan menyambut Sinchia, dapat dirasakan dikawasan pecinan dan tempat peribatan warga keturunan tionghoa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan klenteng.
Seminggu sebelum tahun baru Imlek pada 26 Januari lalu, gue sempat mengunjungi beberapa kawasan pecinan di Jakarta, Tangerang dan Depok. Di Kawasan Glodok, Jakarta Barat, warna merah pernak pernik imlek, mulai dari kue – dodol – lampion – bunga meihua ramai dijual di pasar yang berada di kawasan pecinan terbesar di jakarta itu. Di Klenteng Petak Sembilan, juga berhias. Meja altar dirapihkan, lilin persembahan dengan berbagai ukuran ditata, patung dewa – dewa dibersihkan.
Gue juga sempat mengunjungi klenteng tertua di Tangerang, Banten – Boen Tek Bio. Di klenteng yang berlokasi ditengah – tengah Pasar Lama Tangerang ini pun berbenah, lilin – lilin persembahan dinyalakan, sumbangan dari umat dikumpulkan untuk nantinya dibagikan kepada fakir miskin.
Ternyata, bagi masyarakat keturunan Tionghoa, Imlek memiliki arti yang berbeda, terutama bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang memeluk agama Konghuchu. Bagi masyarakat keturunan tionghoa umumnya, Imlek atau sincia adalah tradisi yang dilakukan untuk menghormati nenek moyang. Sementara bagi Umat Tionghoa, Imlek bukan sekedar tradisi tapi merupakan bagian dari ajaran agama Konghuchu.
Gue sempat mengunjungi Litang Cimanggis, di Depok. Litang yang berarti Gerbang Kebajikan adalah tempat peribadatan khusus agama konghucu. Di Litang Cimanggis gue sempat bertemu dengan Ketua Litang Cimanggis, Bapak Mulyadi.
Pak Mul menjelaskan, Klenteng adalah tempat ibadah umunya bagi masyarakat tionghoa yang beragama budha, tao dan konghucu. Jadi klenteng adalah tempat ibadah secara umum. Di klenteng ada berbagai macam dewa dewi sebagai penghormatan kepada orang – orang suci yang telah berjasa bagi kemanusiaan. Sementara Litang atau kum miau hanya mengenal satu yaitu konghucu, sebagai nabi yang dikenal dalam agama konghucu. Perbedaan kedua, di Litang diberikan siraman rohani atau ajaran agama oleh para rohaniawan.
Penetapan tahun baru imlek dilakukan berdasarkan hari kelahiran Kongzi atau Khongcu, yaitu nabi terakhir dalam agama Konghuchu. Konghucu lahir pada tahun 551 SM, oleh karena itu Imlek memiliki makna keagamaan atau ritual bagi umat Konghuchu.
Waktu gue berkunjung ke Litang Cimanggis, ada sedikit pemandangan berbeda disana. Ternyata pemeluk agama Konghucu tidak hanya berasal dari masyarakat keturunan tionghoa. Ada juga masyarakat keturunan non tionghoa yang menjadi Konghucu.
Di Litang Cimanggis, gue ketemu dengan Mak’ Kamah, dia adalah orang betawi asli. Dan, Yus Rumbery, keturunan Papua asli. Mak’ Kamah dan Yus Rumbery sekarang adalah penganut Konghucu. Mak’ Kamah jadi Konghucu karena menikah dengan lelaki keturunan Tionghoa, sementara Yus Rumbery mengaku menjadi Konghucu karena panggilan jiwa. (By Diu Oktora / 4 Februari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar