28 Juni 2009

Pelajaran Demokrasi Dalam Bus

Pelajaran Demokrasi Dalam Bus

Tadi malam (17/06/09) aku pulang naik bus Bianglala 44 jurusan Cileduk - Senin. Karena jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, tentu saja penumpang sudah jarang naik. Seperti biasa, Bus Bianglala 44 menjaring penumpang dibawah kolong sudirman, bus ngetem cukup lama, karena saat aku naik hingga bus jalan kurang lebih 15 menit lamanya.

Saat bus yg aku tumpangi masih asik ngetem, Bus Bianglala 44 lainnya datang & jumlah penumpangnya lebih banyak, kalau boleh ngutip bahasa kenek "pas kursi".

Kejar - kejaran antara bus yg aku tumpangi & bus yg satunya pun tak terhindari. Namun, sampai di pasar mayestik, kedua bis berhenti, itu tandanya akan ada penumpang yg dioper, ternyata penumpang di bus ku yg akan dioper.

Kontan & tanpa komando, nada protes penumpang bersahutan. "jgn mau dioper".. "bis itu penuh".. "jgn mau pada turun, duduk aja".. "pulangin uang kalo mau dioper".. "jangan narik kalo bisanya ngoper penumpang".. "kitakan udh bayar, kok seenaknya aja". Sahut - sahutan antar awak bus Bianglala & penumpang pun terjadi.

Tiba - tiba, dari arah belakang terdengar suara dari seorang bapak "udh voting aja, biar jangan lama - lama, udah malem nih". Si bapak itu melanjutkan bicara "penumpang mau dioper atau enggak", dgn kompak penumpang menjawab "ga, lanjut sampai cileduk".

Hmmm.. Dengan kesal awak bus mengakui kekalahannya, bus pun melanjutkan perjalanan menuju cileduk. Walaupun sepanjang perjalanan si supir ngebut, ga berhenti - henti bunyiin klakson, tapi paling tidak dia berani mengakui kekalahannya dalam voting penumpang, & menjalankan konsekwensinya.

Pelajaran pertama yang didapat adalah indah sekali jika semua persoalan diselesaikan secara demokratis, memang akan ada pihak yg menang & kalah. Tapi jika konsekwensi dari sebuah kemenangan & kekalahan dijalankan dengan penuh tanggung jawab, hasilnya akan menjadi lebih manis.

Pelajaran keduanya adalah jika kita sudah menjalankan tanggung jawab kita dengan baik, tentu kita berhak menuntut apa yang menjadi hak kita..

Salam Demokrasi (Diu Oktora/ 18 Juni 2009)

27 Juni 2009

Sudah Gila Dikerangkeng Pula

Miris!!! Begitulah yang pertama kali aku rasakan dalam perjalanan ku kali ini. Kabupaten Garut – Jawa barat, adalah tujuan ku, di kota Dodol ini aku meliput kehidupan orang – orang gila yang harus hidup dalam kerangkeng, dulu lebih dikenal dengan istilah dipasung.

Betapa tidak miris, mereka adalah manusia, walaupun kenyataannya mereka memang gila. Tapi, hidup mereka harus lebih buruk daripada binatang. Sangat tidak layak. Mereka harus hidup dalam kerangkeng berukuran 1 kali 1 meter. Semua aktivitas mereka, mulai dari makan, tidur, mandi, bahkan buang air dilakukan dalam kerangkeng itu.


Ket Gambar : Amin, dikerangkeng puluhan tahun


Ket Gambar : Tempat Amin dikerangkeng

Amin, warga Kampung Cibulakan Sindang Sari, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut – Jawa Barat yang harus hidup selama berpuluh – puluh tahun lamanya dalam kerangkeng. Sudah hampir 45 tahun lamanya Amin harus hidup dalam kerangkeng yang berukuran 1 kali 1 meter.

Amin adalah anak ke 4 dari tujuh bersaudara. Menurut ibunya, Mak Wati, sejak usia 2 tahun Amin sudah menunjukkan gejala penyakit gangguan jiwa alias gila. Keluarga sempat membawanya berobat ke Rumah Sakit dan orang pintar. Namun, karena kesulitan ekonomi pengobatan lelaki yang kini berusia 52 tahun terputus.

Memasuki usia 7 tahun, penyakit gila Amin makin parah, Amin kerap mengamuk dan sering memukul kakaknya. Bahkan, sejumlah barang elektronik seperti radio dan televisi milik keluarganya habis dirusak dan dibuang ke kolam, karena tidak ada biaya untuk berobat keluarga memutuskan untuk mengkrangkeng Amin. Akibat sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng tubuhnya terlihat kurus, rambut gembel. Bahkan karena sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng, Amin hanya bisa berjalan jongkok, kedua kakinya tidak dapat diluruskan.

Menurut Mak’ Iloh bila pikiran tenang, Amin seperti orang normal saja. Bahkan dia bisa diajak ngobrol dan sering berbaur dengan warga sekitar.Tapi Amin, sangat sensitif perasaannya. Jika tersinggung dan kemudian mengamuk, rasanya bumi seisinya mau dibuat hancur lebur seluruhnya.

Menurut Mak’ Iloh dan Mak’ Wati, Amin sengaja dikerangkeng dengan alasan agar tidak merusak dan mengganggu warga sekitar. Cara ini diyakini pihak keluarga dapat membantu penyembuhan Amin dari gangguan kejiwaannya. Namun, hingga saat ini dalam pemasungan, kondisi Amin tak kunjung membaik, malah sebaliknya, kini kondisi Amin sangat memprihatinkan.


Ket Gambar : Yani, dikerangkeng selama 8 tahun.


Ket Gambar : Tempat Yani dikerangkeng

Di Garut, tidak hanya Amin yang dikerangkeng. Yani, warga Desa Kutanagara, di Kecamatan Malangbong juga harus hidup dalam kerangkeng. Yani memang belum selama Amin hidup dalam kerangkeng, menurut ibunya Yani, Ibu Titi, anaknya baru 8 tahun dikerangkeng.

Yani juga gila, karena kerap kali mengamuk dan merusak saat penyakitnya kumat, keluarga dan tetangga pun memilih untuk memasukkan Yani dalam kerangkeng yang berada didepan rumah ibunya. Yani sebenarnya sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Bandung selama 1,5 bulan, namun belum pulih kondisinya oleh rumah sakit Yani dipulangkan.

Melihat apa yang dilakukan terhadap Amin dan Yani sungguh tidak manusiawi. Dulu oleh keluarga dan masyarakat, Amin dan Yani sama sekali tidak diijinkan keluar dari kerangkeng. Namun, karena sempat mendapatkan perawatan dari rumah sakit jiwa, kini Amin dan Yani terkadang dikeluarkan sesaat dari kerangkeng.

Amin dan Yani adalah gambaran kemiskinan yang masih mewarnai wajah bumi pertiwi kita. Tidak ada orang yang berkeinginan menjadi gila, termasuk Amin dan Yani. Mereka pun tidak pernah ingin hidup dalam kerangkeng. Kemiskinan ditambah bunbu penyedap gila adalah aib bagi keluarga, menjadi kerangkeng solusi termudah. Kasihan, sudah gila, dikerangkeng pula. (Diu Oktora / 26 Juni 2009)

Bertahan Di Kolong Jembatan

Suasana malam di kolong jembatan kawasan Pisangan Lama, Jatinegara - Jakarta Timur terasa temaram dan hening. Hampir seluruh pedagang yang berjualan sudah menutup kiosnya, kecuali sebuah kios yang telah disulap menjadi panggung kecil. Suara gendang dan alunan nyanyian sinden, memecah keheningan malam.

Mereka mereka adalah Rombongan Jaipong Mekar Mungaran, yang setiap malam selalu menggelar pentas tari jaipong. Delapan orang penari jaipong merangkap sebagai sinden, menari dan menyanyi, menghibur penonton hingga pagi.

Pementasan biasanya dilakukan setiap malam, kecuali pada malam Jumat, pagelaran jaipong rombongan Mekar Mungaran libur. Pada Rabu malam alias malam Kamis, saya dan dua teman cameraman, Attaris Mauldin & Erfin Yunizar mengambil gambar pementasan para penari jaipong di malam hari.

Pengambilan gambar mulai dilakukan sejak para penari bersiap – siap dan berdandan di bedeng tempat mereka tinggal. Biasanya, tiga jam sebelum pentas, para penari jaipong sudah bersiap dan berhias. Menghias wajah, menjadi bagian penting para penari jaipong. Wajah berbedak tebal, pewarna bibir merah menyala dan alis mata palsu menjadi syarat yang diyakini dapat memikat hati penonton. Rambut digelung berhiaskan bunga, kebaya sederhana dan serangkaian perhiasan imitasi digunakan untuk melengkapi penampilan.

Sekitar jam sepuluh malam, para penari jaipong rombongan mekar mugaran mulai melenggak-lenggokan tubuh mereka. Malam sudah semakin larut, penonton mulai berdatangan. Namun jumlah penontonya bisa dibilang tak banyak namun setiap malam selalu ada penonton, terutama para penonton setia yang ingin menyaksikan sang primadona mereka bergoyang.

Larutnya malam, semakin membuat para penonton berani. Sebagian dengan percaya diri masuk ke arena dan memberi uang persenan atau saweran kepada penari dan sinden. Salah seorang penonton setia Rombongan Mekar Mungaran adalah Erwin asal Bekasi – Jawa Barat.

Saya sempat berbincang dengan Erwin. Lelaki yang setiap harinya berdagang Seafood di Mester – Jatinegara mengaku setiap malam, kecuali pada malam jumat selalu berusaha menyaksikan penari pujaannya bergoyang. Uang lembaran seribuan rupiah selalu disiapkan untuk saweran. Tiap malam paling sedikit Erwin menghabiskan uang paling sedikit 300 ribu rupiah untuk nyawer.
Penonton yang nakal sering kali memanfaatkan saweran untuk menggoda para penari dan sinden jaipong. Saat memberikan uang saweran penonton memainkan uang di jari-jari tangannya sehingga tangan pesinden cukup lama berada dalam jabatan tangannya. Bahkan ada juga yang mengambil kesempatan mencolek – colek penari jaipong.

Ipah, salah seorang penari Jaipong di Rombongan Mekar Mungaran mengakui penonton yang iseng memang banyak. ” Ya ada, kalau lagi nyawer gitu ada yang, biasalah orang kan ga sama, yang genit mah ada. Towel – towel lah, gimana gitu, megang. Kitanya jadi risih aja, kitanya minder aja. Agak kebelakang kalau pas lagi nyawer, jadi ga terlalu deket sama dia yang nyawernya. Kalau yang kaya begitu mah banyak, gimana biasanya godainnya? Ya gimana, senyum – senyumlah, ngajak kenalan. Terus akhirnya ya bajidor (nyawer) begitu.”

Sudah 12 tahun Rombongan Mekar Mungaran rutin manggung di daerah kolong jembatan Pisangan Lama – Jatinegara. Sang pemilik rombongan, Ibu Atun bercerita, sebenarnya dirinya tidak pernah terpikirkan untuk memiliki rombongan jaipong, apalagi dirinya juga tidak memiliki jiwa seni. Namun, 12 tahun lalu pemilik toko disebalah warung makan miliknya menjual tokonya, yang kemudian dibeli oleh suami Ibu Atun.

Rombongan Mekar Mungaran memiliki 8 orang penari yang menrangkap sebagai sinden, mereka kebanyakaan berasal dari Karawang – Jawa Barat. Kehidupan penari Jaipong Mekar Mungaran sangat berbeda dengan penampilan mereka diatas panggung, yang selalu tersenyum bahkan tertawa. Kehidupan keseharian mereka sesungguhnya jauh dari senyum dan tawa yang mereka berikan diatas panggung.

Kehidupan keseharian para penari jaipong ini, dapat dikatakan sangat tidak layak, itu terlihat dari tempat mereka tinggal setiap hari, yaitu sebuah bedeng yang disewakan sang pemilik untuk mereka tinggali secara bersama – sama.

Tidur beralaskan tikar dengan bantal yang tipis. Dinding dan atap yang terbuat dari triplek terlihat bolong – bolong disana sini. Baju, pakaian dalam wanita, perkakas rias menjadi pemandangan yang selalu menghiasi bedeng. Di dalam bedeng juga tidak ada kamar atau ruangan bersekat, sehingga jika para penari hendak berganti pakaian, cukup dengan membuat tirai dari kain.

Para penari dan sinden jaipong, mendapat penghasilan dari pemberian atau saweran penonton. Dalam semalam hasil saweran yang diperoleh bisa mencapai empat ratus ribu. Jumlah itu harus dipotong untuk pimpinan kelompok dan biaya hidup penari selama tinggal di bedeng, jadi dalam sekali menari paling para penari hanya memperoleh uang sekitar 50 ribu hingga 80 ribu rupiah.

Walaupun menjalani hidup dengan penuh ketidaknyamanan, Ipah dan kawan – kawan tetap memilih menari di Jakarta, karena dari segi waktu jauh lebih enak walaupun uang yang didapat sebenarnya lebih sediki.

Ipah sempat menuturkan kepada Saya alasannya mengapa memilih menari di Jakarta ” Kalau dikampung cape mbak, pindah – pindah tempat, kurang istirahat. Kalau disini manggung cuman semalem doang, siangnya bisa istirahat, udah bebas, mau tidur seharian bisa, ga kaya dikampung. Kalau di kampung kan siang malam manggungnya, jadi cape di jalan, cape di mobil”.

Dalam setiap pementasan Rombongan Mekar Mugaran sering pula memasukkan unsur musik dangdut, karena dapat membuat suasan menjadi lebih meriah. Nurmayan biasa di sapa kang maman, guru tari jaipong menilai mereka itu bukan penari jaipongan. “ Kalau yang dipinggir jalan itu karena kebutuhan ekonomi, dan kebetulan mempunyai modal berkesenian dengan vocal, tari seadanya dengan make up, katakanlah otodidak. Jadi belajar dari melihat dan mendengar”.

” Bedanya dengan penari jaipong apa? Ada, kalau penari jaipong terpola, ada susunan, seperti kurikulum, ada tari dasar ada tari tingkat satu, tingkat dua berdasarkan lagu, ada struktur geraknya yang jelas. Kalau penari jalanan itu? Mereka bentuknya improvisasi, dia hanya kepuasaan sesaat, kepuasan batin, ingin melampiaskan emosional mereka melalui gerak dengan satu keterbatasan kreografinya”.

Menari erotis dan seksi, bagi para penari jaipong adalah dilema. Di satu sisi para penari tidak ingin mengumbar sensualitas, tapi di sisi lain penonton menginginkan mereka menari yang menjurus pada erotisme. Kalau mereka tidak mengikuti selera penonton, maka penonton akan meninggalkan mereka, yang artinya pendapatan mereka akan merosot.

Dilema sensualitas dan pelestarian budaya. (Diu Oktora/ 7 Juni 2009)