27 Juni 2009

Sudah Gila Dikerangkeng Pula

Miris!!! Begitulah yang pertama kali aku rasakan dalam perjalanan ku kali ini. Kabupaten Garut – Jawa barat, adalah tujuan ku, di kota Dodol ini aku meliput kehidupan orang – orang gila yang harus hidup dalam kerangkeng, dulu lebih dikenal dengan istilah dipasung.

Betapa tidak miris, mereka adalah manusia, walaupun kenyataannya mereka memang gila. Tapi, hidup mereka harus lebih buruk daripada binatang. Sangat tidak layak. Mereka harus hidup dalam kerangkeng berukuran 1 kali 1 meter. Semua aktivitas mereka, mulai dari makan, tidur, mandi, bahkan buang air dilakukan dalam kerangkeng itu.


Ket Gambar : Amin, dikerangkeng puluhan tahun


Ket Gambar : Tempat Amin dikerangkeng

Amin, warga Kampung Cibulakan Sindang Sari, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut – Jawa Barat yang harus hidup selama berpuluh – puluh tahun lamanya dalam kerangkeng. Sudah hampir 45 tahun lamanya Amin harus hidup dalam kerangkeng yang berukuran 1 kali 1 meter.

Amin adalah anak ke 4 dari tujuh bersaudara. Menurut ibunya, Mak Wati, sejak usia 2 tahun Amin sudah menunjukkan gejala penyakit gangguan jiwa alias gila. Keluarga sempat membawanya berobat ke Rumah Sakit dan orang pintar. Namun, karena kesulitan ekonomi pengobatan lelaki yang kini berusia 52 tahun terputus.

Memasuki usia 7 tahun, penyakit gila Amin makin parah, Amin kerap mengamuk dan sering memukul kakaknya. Bahkan, sejumlah barang elektronik seperti radio dan televisi milik keluarganya habis dirusak dan dibuang ke kolam, karena tidak ada biaya untuk berobat keluarga memutuskan untuk mengkrangkeng Amin. Akibat sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng tubuhnya terlihat kurus, rambut gembel. Bahkan karena sudah terlalu lama hidup dalam kerangkeng, Amin hanya bisa berjalan jongkok, kedua kakinya tidak dapat diluruskan.

Menurut Mak’ Iloh bila pikiran tenang, Amin seperti orang normal saja. Bahkan dia bisa diajak ngobrol dan sering berbaur dengan warga sekitar.Tapi Amin, sangat sensitif perasaannya. Jika tersinggung dan kemudian mengamuk, rasanya bumi seisinya mau dibuat hancur lebur seluruhnya.

Menurut Mak’ Iloh dan Mak’ Wati, Amin sengaja dikerangkeng dengan alasan agar tidak merusak dan mengganggu warga sekitar. Cara ini diyakini pihak keluarga dapat membantu penyembuhan Amin dari gangguan kejiwaannya. Namun, hingga saat ini dalam pemasungan, kondisi Amin tak kunjung membaik, malah sebaliknya, kini kondisi Amin sangat memprihatinkan.


Ket Gambar : Yani, dikerangkeng selama 8 tahun.


Ket Gambar : Tempat Yani dikerangkeng

Di Garut, tidak hanya Amin yang dikerangkeng. Yani, warga Desa Kutanagara, di Kecamatan Malangbong juga harus hidup dalam kerangkeng. Yani memang belum selama Amin hidup dalam kerangkeng, menurut ibunya Yani, Ibu Titi, anaknya baru 8 tahun dikerangkeng.

Yani juga gila, karena kerap kali mengamuk dan merusak saat penyakitnya kumat, keluarga dan tetangga pun memilih untuk memasukkan Yani dalam kerangkeng yang berada didepan rumah ibunya. Yani sebenarnya sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa di Bandung selama 1,5 bulan, namun belum pulih kondisinya oleh rumah sakit Yani dipulangkan.

Melihat apa yang dilakukan terhadap Amin dan Yani sungguh tidak manusiawi. Dulu oleh keluarga dan masyarakat, Amin dan Yani sama sekali tidak diijinkan keluar dari kerangkeng. Namun, karena sempat mendapatkan perawatan dari rumah sakit jiwa, kini Amin dan Yani terkadang dikeluarkan sesaat dari kerangkeng.

Amin dan Yani adalah gambaran kemiskinan yang masih mewarnai wajah bumi pertiwi kita. Tidak ada orang yang berkeinginan menjadi gila, termasuk Amin dan Yani. Mereka pun tidak pernah ingin hidup dalam kerangkeng. Kemiskinan ditambah bunbu penyedap gila adalah aib bagi keluarga, menjadi kerangkeng solusi termudah. Kasihan, sudah gila, dikerangkeng pula. (Diu Oktora / 26 Juni 2009)

Tidak ada komentar: