27 Agustus 2009

Kami Hidup Bersama Deru Kereta Api


Pemukiman Penduduk Di Sepanjang Rel Kereta Api Pejompongan – Jakarta Pusat

Tak pernah terbayangkan dalam diriku hidup berdampingan dengan kereta api yang melaju kencang. Kali ini perjalanan liputan ku menemui mereka – mereka yang hidup berdampingan dengan si ular besi, yaa... Merekalah manusia – manusia pinggir rel kerata api.

Entah karena kurangnya lahan pemukiman untuk penduduk atau semakin banyaknya penduduk di Jakarta, sehingga Ibukota Negara Republik Indonesia ini tak kuasa menampungnya lagi, lahan – lahan disepanjang pinggir rel kereta api menjadi tempat bagi para penduduk untuk bermukim.

Rumah – rumah berjejer memadati lahan – lahan dipinggir rel kereta api. Kondisi ini sangat membahayakan baik bagi para penduduk maupun bagi kereta api itu sendiri. Bagaimana tidak? Jarak antara pemukiman penduduk dengan bahu kereta yang melaju dengan cepat jaraknya kurang lebih hanya 20 centimeter saja.



Salah satu pemukiman yang memadati lahan pinggir jalur kereta api adalah di kawasan Pejompongan – Jakarta Pusat. Dikawasan ini aku dan cameramen ku, Attaris Mauldin menemui Bapak Ahmad Nawawi.

Bagi pak Ahmad, hidup dipinggir rel kereta api memang bukan pilihan, tapi tidak ada pilihan lain alias terpaksa harus hidup berdampingan dengan si ular besi. Rumah Pak Nawawi benar – benar berada tepat dipinggir rel jalur kereta api Tanah Abang – Serpong. Halaman rumah laki – laki yang hampir berusai 70 tahun ini adalah rel kereta api. Di rumahnya yang berdindingkan tambalan – tambalan triplek dan papan, pak Nawawi hidup bersama 11 anggota keluarganya. Padahal ukuran rumah pak Nawawi hanya sebesar 2 x 2 meter saja.

Pak Nawawi tinggal dipinggir rel kereta api sudah sejak tahun 1995. Awal menempati lahan pinggir rel, pak Nawawi tidak tahu kalau areal sepanjang rel kereta api adalah milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Menurutnya, ketika dia akan membangun rumah sudah banyak rumah disekitar jalur rel kereta api.

Bagi pak Nawawi dan warga lainnya mereka telah terbiasa dengan kereta yang melaju di depan rumah mereka. Tidak pernah ada rasa khawatir pada mereka melihat kereta api yang melaju dengan kecepatan tinggi, biasanya mereka akan memberikan tanda sendiri kepada warga lainnya dengan berteriak ”ada kereta” .. ”awas kerata” setiap kereta api lewat, pak Nawawi dan warga lainnya pun langsung berhamburan masuk ke rumah masing – masing untuk mengamankan diri. Selain itu mereka juga sudah hapal jam berapa saja kereta api lewat.



Untuk bisa bertahan hidup, manusia memang harus berkompromi dengan lingkungannya, salah satunya adalah berkompromi dengan kereta api. Kompromi itulah yang dilakukan pak Nawawi dan warga yang tinggal di kawasan pinggir rel pejompongan. Jika mereka boleh memilih, tentu mereka tidak ingin tinggal berdampingan dan menantang maut, namun pilihan itu tidak ada. (Jakarta, Juni 2009/ Diu Oktora)

Tidak ada komentar: