01 September 2009

Klaim Kebudayaan & Sinetron

Hubungan Indonesia Malaysia lagi – lagi tegang, kali ini karena Malaysia mengklaim seni budaya asal Bali, Tari Pendet sebagai milik mereka. Klaim itu dapat dilihat dari iklan pariwisata Malaysia di televisi – televisi. Berbagai protes menentang kelakuan Negara tetanggu itu pun bermunculan. Aksi demontrasi – pembakaran bendera Malaysia bahkan seruan Ganyang Malaysia yang sempat dilontarkan Presiden pertama Indonesia – Soekarno kembali terdengar.

Aksi klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia bukan kali ini saja terjadi, namun sudah sering kali dan berulang – ulang. Pada tahun 2007, Malaysia mengklaim lagu “Rasa Sayange” asal Ambon – Maluku sebagai lagu tradswional mereka. Masih pada tahun yang sama kesenian asal Jawa, Wayang Kulit juga diklaim. Dalam berbagai acara kesenian, wayang dipentaskan sebagai kesenian Malaysia. Tahun 2008, giliran Reog Ponorogo dari Jawa timur dan Keris yang diakui sebagai kesenian Malaysia.

Masih banyak lagi kesenian asli Republik Indonesia yang diaku – akui Malaysia. Misalnya beberapa lagu yang sempat hak milik mereka antara lain lagu “Burung Kakak Tua” dari Maluku, lagu asal Nusa Tenggara “Anak Kambing Saya”, “Soleram” asal Riau, “Injit – Injit Semut” dari Jambi. Bahkan Batik Parang – Yogyakarta juga dengan seenaknya dibilang budaya Malaysia.

Kelakuan klaim seenaknya Malaysia, tidak hanya soal budaya tapi juga wilayah. Lihat saja aksi maneuver seenaknya Tentara Diraja Malaysia di perairan Ambalat – Kalimantan Timur. Dan yang teranyar pengakuan atas Pulau Jemur, pulau terluar di kepulauan Riau.

Dibalik hiruk pikuk menolak klaim kebudayaan dan wilayah yang dilakukan oleh Malaysia, coba sejenak kita menoleh kedunia pesinetronan kita.

Beberapa waktu lalu, gue sempat bedrest selama 10 hari. Selama bedrest kerjaan utama gue adalah melahap semua tayangan televisi termasuk sinetron. Di salah satu televisi swasta nasional kita menayangkan sinetron berbau – bau Malaysia. Pemainnya beberapa artis papan atas Indonesia. Dalam sinetron tersebut dialog yang digunakan adalah bahasa Malaysia, logat – logat melayu.

Kebetulan mbak yang ngasuh alvaro anak gue, doyan banget nonton sinetron itu, karena kebetulan dia berasal dari Pontianak sehingga mengerti bahasa melayu Malaysia. Jadilah gue ikut – ikutan nonton. Ada yang menarik dari sinetron itu, dalam beberapa dialognya sering kali pemainnya mengucapkan kata – kata yang menghina Bangsa Indonesia, seperti “kan orang Indonesia itu pembantu semua” atau “Indonesia itukan negara miskin”.

Nah loh, disaat kita menganggap Malaysia menghina Indonesia dengan mengklaim sejumlah kebudayaan nasional kita. Tapi televisi nasional kita justru menanyangkan sinetron yang berlatar belakang kehidupan orang Malaysia dan ceritanya kalau boleh gue sebut malah menghina Indonesia sendiri. Ironisnya, yang main adalah artis Indonesia, televisi yang menayangkan adalah televisi nasional Indonesia…. Bagaimana ini??? (Valencia Home, 01 September 2009 – Diu Oktora)

Tidak ada komentar: