28 Desember 2009

Eksotisme Wakatobi dan Tanda Tanya Kebudayaan



Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul sebelas siang. Bersama dua jurnalis lain, saya terbang menuju Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dibutuhkan waktu selama tiga jam penerbangan dengan pesawat Sriwijaya Air untuk tiba di Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara, setelah sebelumnya transit di Bandara Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Karena penerbangan ke Wakatobi hanya ada pada pagi hari, kami terpaksa menginap di Kendari. Dan besoknya kami sampai di Bandara Matahora, Wakatobi, setelah melalui penerbangan selama 30 menit dengan pesawat Susi Air.

Wakatobi adalah kabupaten di Sulawesi Tenggara dengan Wangi-Wangi sebagai ibukotanya. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 ini memiliki lima kecamatan, yakni Binongko, Kaledupa, Tomia, Wangi-Wangi, dan Wangi-Wangi Selatan.

Semula, Kabupaten Wakatobi merupakan taman laut nasional yang memiliki potensi keindahan alam, baik darat maupun laut. Kepulauan yang terletak di Perairan Laut Banda ini memiliki jajaran karang laut terindah di segitiga karang dunia. Tak hanya itu, jajaran karangnya, yang ada di Kaledupa, merupakan satu-satunya yang terpanjang di dunia. Kaledupa adalah salah satu gugusan pulau karang di Wakatobi dengan panjang atol mencapai 48 kilometer.

Selain itu, perairan Wakatobi juga memiliki spesies binatang laut unik terbanyak di dunia. Jika dibandingkan dengan Kepulauan Karibia di benua Amerika, Wakatobi masih lebih unggul. Di Karibia, jumlah spesies binatang laut unik adalah 200, sedangkan di Wakatobi mencapai 750 spesies. Salah satu spesies unik di Wakatobi adalah kuda laut yang tingginya hanya 2,5 sentimeter.

Keindahan alam dan potensi laut Wakatobi yang luar biasa ini membuat Pemerintah Kabupaten Wakatobi gencar melakukan promosi pariwisata. Tidak main - main, untuk menunjang perkembangan pariwisata, Pemerintah Wakatobi membangun Bandara Matohara dengan panjang landasan 1200 meter dan lebar 40 meter.

Kedatangan saya ke Wakatobi adalah dalam rangka Festival Sail Indonesia 2009 yang digelar pada Agustus 2009. Festival yang diadakan di Wangi - Wangi ini merupakan salah satu promosi pariwisata yang rutin diadakan oleh pemerintah daerah Wakatobi tiap tahunnya. Dalam Sail Indonesia 2009 ditampilkan berbagai budaya asli Wakatobi, antara lain Bangka Mbule-Mbule, Kabuenga, dan Karia’a.



Bangka Mbule-Mbule adalah upacara melarung hasil bumi ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mandati. Berbagai hasil bumi itu diantaranya padi, jagung, dan pisang. Sebelum dilarung ke laut, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, hasil bumi diletakkan dalam perahu kayu yang dihiasi dengan sepasang orang-orangan sebagai simbol kejahatan. Kedua, perahu yang sudah berisi hasil bumi ini kemudian diarak keliling kampung guna mengusir mara bahaya yang akan mengganggu desa. Nah, perahu yang membawa hasil bumi yang akan dilarung ini disebut Mbule-Mbule.

Tujuan dari acara Bangka Mbule-Mbule adalah untuk mengucapkan syukur sekaligus menghindari bencana, seperti bencana alam, mewabahnya penyakit, atau persoalan sosial yang dapat mengakibatkan gangguan di masyarakat.

Pada bagian lain, ditunjukkan pula bagaimana cara Suku Liwo, salah satu penduduk asli Wakatobi, mencari jodoh untuk anak perempuannya. Caranya adalah dengan melelang makanan. Dan laki-laki yang memberikan penawaran tertinggi akan menjadi jodoh anak perempuan dari Suku Liwo.

Lalu, bagaimana caranya melamar dengan gaya lelang makanan? Caranya tak lain dengan menyusun makanan berupa lauk pauk dan kue secara bertingkat dan dihias untuk memikat hati laki-laki. Makanan tersebut kemudian diletakan di ruang depan rumah. Jika ada laki-laki yang berminat, maka ia akan melakukan tawar menawar dengan keluarga pihak perempuan. Dan laki-laki dengan tawaran harga paling tinggilah yang berhak mempersunting. Setelah kesepakatan terjadi, laki-laki dan perempuan yang telah berjodoh akan diayun di sebuah ayunan yang terbuat dari pohon pinang, bambu, dan rotan. Ayunan ini disebut dengan Kabuenga.

Acara Kabuenga ini biasanya dilakukan setelah perayaan Idul Fitri. Sebab, biasanya pada saat itu laki-laki Suku Liwo yang merantau akan kembali pulang ke kampung halaman.

Sementara itu, upacara adat Karia’a adalah sama dengan perayaan sunatan. Upacara ini biasanya dilakukan oleh Suku Buton, dimana anak-anak mereka umumnya sudah disunat sejak usia lima tahun.

Upacara adat Karia’a, yang biasanya dilakukan di sebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara nyanyian dari sekelompok ibu-ibu. Seluruh peserta perayaan Karia’a akan mendapatkan bagian dari syara, yaitu pemimpin upacara Karia’a. Kemudian, semua peserta upacara akan menuju batanga, yaitu tempat perayaan dari rumah mereka masing-masing. Peserta menuju batanga dengan menggunakan kansoda’a, yaitu usungan yang terbuat dari bambu besi, atau oleh masyarakat setempat disebut o’o.

Perayaan Karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampung sambil membawa usungan. Uniknya, dalam perayaan Karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat, melainkan anak-anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah Buton Wakatobi dan hiasan bunga di kepala. Setiap usungan bisa berisi tiga hingga lima anak perempuan dan diusung oleh empat hingga sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan Karia’a boleh juga diikuti oleh laki-laki dewasa yang sudah disunat namun belum pernah mengikuti perayaan Karia’a sebelumnya.

Upacara adat Karia’a merupakan salah satu tradisi Suku Buton Wakatobi yang sudah dilakukan sejak 1918. Begitu juga dengan upacara adat Bangka Mbule - Mbule dan Kabuenga yang usianya sudah ratusan tahun. Mempertahankan tradisi leluhur memang terus dilakukan oleh masyarakat Wakatobi.

Namun demikian, saya mencoba mencari tahu, apakah masyarakat memahami makna dari dari upacara-upacara adat yang ditampilan dalam Festival Sail Indonesia 2009. Dan saya mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Dari beberapa orang yang saya tanya tentang beberapa kegiatan, jawabannya selalu berbeda-beda. Misalnya, dalam upacara adat Karia’a, tidak ada yang dapat memastikan mengapa yang diusung adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki yang disunat.

Seketika saya merasa bahwa upaya mempertahankan tradisi nenek moyang hanya sekedar menjadi kebiasaan. Berbagai simbolisasi dalam adat tidak diiringi dengan pemahaman. Ia tampak hanya sekedar sebuah ritual demi meramaikan festival kebudayaannya belaka. Padahal, mempertahankan budaya yang hakiki berarti memahami makna sesungguhnya yang terkandung dalam berbagai simbol budaya tersebut.

Baca juga di : http://wisataloka.com/kultur/eksotisme-wakatobi-dan-tanda-tanya-kebudayaan/

Tidak ada komentar: