18 Maret 2009

Pasar Tradisional Diujung Tanduk

Pasar Tradisional. Apa yang terlintas di kepala kita soal pasar tradisional? Becek, semraut, kotor, dan tidak teratur.

Dulu kita hanya mengenal satu tempat yang menjual segala macam kebutuhan mulai dari sembako, pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai pasar tradisional. Seiring perubahan gaya hidup bermunculan pasar modern. Menurut para pelaku pasar modern, kehadiran mereka karena tuntutan dari konsumen.

Corporate Affairs Director Carrefour Indonesia, Irawan Kadarman mengungkapkan ”Pertama dari aspek konsumen, konsumen itu terutama di urban area itu kan memang ada perubahan perilaku, kalau ibu lihat sendiri sekarang banyak suami istri bekerja, mereka itu baru sampai rumah malam terus mereka hanya bisa berbelanja hanya akhir pekan, terus mereka menggunakan kesempatan berbelanja itu menjadi rekreasi keluarga, nah itu terus karena itu rekreasi keluarga mereka kan juga membutuhkan keamanan, kenyamanan,nah jadi ada perubahan perilaku konsumen,yang salah satunya menyebabkan ritel modern itu berkembang”

Ketua Harian Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia, Tutum juga mengungkapkan alasan yang sama ”Kita mulai berkembang dari pasar tradisional yang ada trus kita melihat perkembangan pusat-pusat perbelanjaan modern ada kita coba-coba masuk ternyata itu memang kebutuhan masyarakat ada disitu, jadi kita memberanikan diri masuk ke pasar modern ritel itu tersebut. Perubahan gaya hidup, tingkat kesibukan apapun kaitannya dengan kemudahan, kenyamanan, jumlah barang yang kita sajikan, saya rasa konsumen semata-mata lebih kearah situ kita mencoba mendekatkan dengan keinginan konsumen itu yang terpenting”

Pasar modern memang memberikan kenyamanan bagi konsumennya. Tempat belanja yang bersih, menggunakan pendingin ruangan, dan barang yang tertata rapi, ditambah lagi areal parkir yang luas dan aman. Berbeda dengan pasar tradisional. Fisik bangunan yang tidak terawat, becek dan sampah berserakan, menjadi bagian tidak terpisahkan//

Pesatnya perkembangan pasar modern secara perlahan menggerus keberadaan pasar tradisional. Berdasarkan catatan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia – APPSI dari 153 pasar tradisional yang ada di jakarta, sekitar 45 pasar terkena dampak keberadaan pasar modern.

Sekjen APPSI, Ngadiran mengungkapkan maraknya pasar modern justru mematikan pasar tradisional ”Dampak yang dialami oleh pedagang tradisional itu sendiri, pertama adalah dari omset yang turun, itu juga sangat dirasakan oleh para warung-warung dipemukiman. Karena yang menjadi rayap itu sebenarnya mini market-mini market apapun namanya, baik yang itu sifatnya dia mengglobal dengan sistem pola waralaba ataupun yang ada pada sekarang, itu yang menjadi rayap akan menggerogoti warung-warung kecil dimana warung kecil itu pelanggannya belanjanya ke pasar tradisional untuk dijual kembali, itu sebenarnya”.

Carrefour sebagai pemain pasar modern terbesar di Jakarta membantah sebagai penyebab tergusurnya keberadaan pasar modern. Sebab target konsumen pasar modern dan pasar tradisional berbeda. Pesatnya pertumbuhan pasar modern memang tidak bisa dihindari, sehingga harus ada mekanisme yang jelas untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional.

Untuk menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional, sebenarnya pemerintah telah menerbitkan dua regulasi, yaitu Perpres no 112 / tahun 2007, tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Dan, Permendag no 53 / tahun 2008, tentang pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Gunaryo mengungkapkan ”Kebijakan pemerintah dibidang ritel itu sebenarnya yang kita lakukan adalah bagaimana kita menjaga keseimbangan, keseimbangan antara ritel tradisional supaya dia juga dapat tetap tumbuh berkembang tapi juga tidak menghambat laju dari pada perkembangan ritel modern, tetapi juga disisi lain juga harus memperhatikan bagaimana memenuhi tuntutan konsumen, karna kita sama-sama tahu bahwa kemodernan itu tidak bisa kita hambat.Kita tidak bisa membiarkan persaingan itu hade to hade ya, antara tradisional dengan ini dibiarkan bersaing secara bebas itu, tidak seperti itu. Oleh karenanya didalam perpres dan permendak tadi itu juga diatur beberapa apa namanya rambu-rambu gitu lah si pasar ritel modern ini bolehnya di posisi mana, dilokasi yang seperti apa, dan yang terpenting sebenarnya yang mengunci yang melindungi yang sangat berpihak kepasar tradisional”.

Namun, bagi APPSI regulasi soal pasar, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, justru tidak berpihak kepada pasar tradisional ”Kita merasa keberatan karena ternyata dari hasil cek dan ricek kita itu ada beberapa perijinan yang diurus tidak sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik yang zaman dahulu ada skb 3 mentri sampai dengan sekarang mengacau pada perpres 112 maupun adanya permendak no.53, satu sisi adanya beberapa acuan katakanlah ada perda – perda yang sudah lebih dahulu terbit itu juga sudah mengatur dengan baik sebenarnya tapi ternyata itu banyak yang dilanggar, hal itu sangat berdampak pada keberadaan para pedagang pasar tradisional maupun pewarung – pewarung yang ada di pemukiman – pemukiman”.

Keberadaan pasar tradisional di jakarta memang seperti diujung tanduk. Ancaman tidak hanya datang dari semakin banyaknya pasar modern, tapi juga dari pemerintah daerah. Terbukti pemerintah daerah yang seharusnya menjadi pelindung justru membuka gerbang kematian bagi para pedagang pasar tradisional. Pasar modern diberikan ijin untuk beroperasi di daerah yang strategis, bahkan berdampingan dengan pasar tradisional.

Belum lagi ancaman penggusuran, dengan dalih merenovasi pasar. Bukannya justru membantu tapi mencekik pedagang pasar tradisional karena harus membeli kios baru dengan harga yang lebih mahal.

Sekjen APPSI, ngadiran mengungkapkan diskriminasi yang terjadi terhadap para pedagang pasar tradisional ”Bukan kita itu anti adanya investor asing tetapi mestinya diatur sedemikian rupa ditempatkan disatu komunitas yang kataknlah baru dia harus membangun komunitas baru jangan duduk memposisikan dirinya ditempat yang memang yang strategis, karena tempat-tempat strategis itu yang membangun gotwill adalah pedagang-pedagang pasar tradisional setelah good willnya ngangkat naik harganya tinggi kemudian tiba-tiba dating saja dengan dalih investor, akhirnya mati pula itu pedagang pasar tradisional. Sekarang ada satu aturan dipemerintah daerah, pasar dibangun setelah dibangun pedagang harus membayar sejumlah uang, dengan jangka pakai 20 tahun ini sebenarnya menjolimi pedagang tradisional. Kalau memang sewa kenapa harus membayar sewa 20 tahun? Kalau uang kita tidak ada mendapatkan kredit dari salah satu bank dengan suku bunga berapa? Berapa yang harus kita bayar? Kalau emang pemerintah membangun untuk disewakan, sewakan saja kepada pedagang mungkin bayar sewanya pertahun, mungkin bayar sewanya perbulan, bisa saja bayar sewanya perhari tidak sekarang dibayar dimuka 20 tahun ini adalah suatu perilaku atau satu kebijakan yang salah ini tidak akan membuat pedagang kita mampu bersaing tetapi semakin terpuruk”.

Salah satu pasar modern yang keberadaannya berdekatan dengan pasar tradisional adalah Carrefour. Sebagai salah satu contoh, Carrefour di kawasan Cileduk – Tangerang letaknya berhadap – hadapan dengan Pasar Tradisional Saraswati. Namun, pihak Carrefour membantah, mereka tetap tidak melanggar peraturan yang ada, karena mereka telah mengantongi ijin operasi dari pemerintah daerah ”Bahwa kalau gerai kami beroperasi artinya kami sudah mengantongi perizinan yang disyaratkan, kedua kembali lagi bahwa konsumen itu berbeda bu, konsumen itu beberbeda contoh bagaimana ada ritel modern baik kita pesaing kita berdekatan dengan pasar tradisional dua-duanya bisa tumbuh kembang, dua-duanya bisa mengakomodir konsumenya masing-masing. Kita ambil contoh kalau di luar kota bisa kita ambil yogya kita disitu menjadi penyewa disebuah mal, di belakangnya pasar tradisional, kita tumbuh kembang, mereka tumbuh kembang, ciledug juga demikian, waktu kita mau buka sedikit keriak-riak tapi sekarang kita buka hampir 2 tahun kita tumbuh kembang tempat mereka tetap saja penuh sesak gitu”.

Pemerintah pusat sebenarnya sudah mengalokasikan dana lebih dari Rp 200 Miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – APBN untuk melakukan perbaikan terhadap pasar tradisional. Namun, kesenjangan tetap terjadi antara pasar modern dan pasar tradisional. Pasar modern bisa beroperasi ditempat yang strategis sementara pedagang pasar tradisional harus berjualan dipinggir jalan raya atau pinngiran rel kerata api dengan membayar sewa yang mahal dan resiko tertabrak kendaraan atau kereta api.

Perbaikan terhadap pasar tradisional seharusnya sudah dilakukan sejak sepuluh tahun yang lalu, sehingga pasar tradisional mampu bersaing dengan pasar modern. Namun kini, semakin hari pasar tradisional justru semakin tergerus. Kekhawatiran muncul sepuluh tahun kedepan pasar tradisional tidak akan ada lagi.

Tidak ada komentar: